Ilustrasi kekerasa seksual terhadap anak. Istimewa.
Ilustrasi kekerasa seksual terhadap anak. Istimewa.

Solusi Berbasis Bukti, Bukan Emosi

Yogi Bayu Aji • 27 Mei 2016 20:05
medcom.id, Jakarta: Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Aturan itu ditujukan untuk menekan kekerasan sekual terhadap anak.
 
Di lain pihak, DPR juga sedang mengodok Rancangan Undang Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual. Namun, RUU ini masih diperjuangkan untuk masuk dalam program legislasi nasional 2016.
 
Melihat hal ini, Kepala Operasional Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA UI) Ni Made Martini Puteri menjelaskan, dari beberapa studi didapatkan informasi, 20% anak-anak di Papua, Jawa Tengah, NTT, dan Aceh mengalami penelantaran. Dari anak-anak yang mengalami kekerasan, 37% di Papua, 31% di NTT, 24% di Jateng, dan 13% di Aceh mengalami kekerasan seksual. 

Berdasar data UNICEF, lanjut dia, juga didapatkan data 50% anak di panti asuhan dan institusi penahanan mengalami kekerasan. Dari responden yang diwawancarai, 38% mengaku tidak tahu harus berbuat apa saat kekerasan terjadi dan 41% orang yang pernah menyaksikan kekerasan mengaku tidak melakukan apa-apa.
 
"Itu adalah sebagian kecil dari permasalahan yang ada dan dibutuhkan lebih banyak riset, di antaranya untuk mendapatkan data prevalensi nasional," kata Ni Made kepada Metrotvnews.com, Jumat (27/5/2016).
 
Kriminolog UI ini menjelaskan, semua orang, termasuk anak-anak, harus dilindungi dari segala bentuk perlakuan salah, kekerasan, eksploitasi, dan penelantaran. Namun sayangnya, data lengkap tentang kekerasan, apalagi kekerasan seksual, hampir tidak pernah bisa tersedia. 
 
Ni Made menilai, tiap respon dan pencegahan akan efektif bila dirancang berbasis pada data dan didekati melalui lintas disiplin ilmu. Dengan ketiadaan data yang lengkap, bereaksi secara emosional terhadap masalah kekerasan seksual harus dihindarkan. 
 
"Pemerintah dan perancang peraturan perundang-undangan perlu mengaitkan hukuman yang ditetapkan dengan tujuan rehabilitasi dan perlindungan yang efektif bagi korban, dan bukan sekedar upaya balas dendam terhadap suatu kejahatan," jelas dia.
 
Dia pun mengkritik rencana pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan Perppu Perlindungan Anak yang mengatur pemberatan hukuman, pidana mati, kebiri, dan penanda seumur hidup. Pasalnya, masih banyak hal lain yang harus diperbaiki.
 
Pemerintah, kata dia, harusnya memprioritaskan ketersediaan dan kualitas sumber daya manusia, infrastruktur, keuangan, dan panduan teknis untuk sistem pendukung yang sudah diatur. "Dengan membuat aturan baru, potensi terjadinya tumpang tindih dengan UU dan kebijakan lainnya semakin besar," papar dia.
 
UU baru, jelas dia, akan menghambat semangat kodifikasi aturan pidana di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana (RKUHP dan RKUHAP) yang sudah memuat beberapa bentuk kekerasan seksual. "Pemerintah dapat mengupayakan agar bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya terakomodir di dalam RKUHP," papar Ni Made.
 
Dia menilai, Pemerintah harus menjalankan bebagai langkah terlebih dahulu untuk mengatasi kekerasan seksual. Pertama sisi data dan informasi. Perlu ada perbaikan kualitas dan kelengkapan basis data biometrik kependudukan dan terintegrasinya sistem data penyidikan, penahanan, dan pemidanaan, dengan data kependudukan, tanpa melanggar hak privasi dan jaminan keamanan data pribadi.
 
"Juga memperbaiki kualitas riset-riset ilmiah untuk mengenali karakteristik korban, pelaku, tindak pidana, dan lainnya, untuk mendukung dilakukannya analisis dalam perbaikan kebijakan," ungkap Dosen pengajar Mata Kuliah Perlindungan Anak ini.
 
Di bidang penegakan hukum, Pemerintah harus memperbaiki kualitas dan ketersediaan teknologi forensik serta basis data penunjang untuk mendukung proses penyidikan dan implementasi Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2011 tentang Kedokteran Kepolisian. Proses pembuktian yang hanya berbasis mendapatkan pengakuan, apalagi dengan cara-cara kekerasan, harus ditiadakan.
 
Kualitas dan ketersediaan penyidik perempuan di setiap polsek juga harus ditingkatkan. Jumlah polisi perempuan pada 2013 hanya sekitar 3.6% atau 13,000 personel dari keseluruhan anggota Kepolisian. "Dari 3,6% ini sebagian besar masih menduduki fungsi-fungsi administratif, bukan penyidikan," jelas dia.
 
Polisi, Jaksa, Advokat, dan Hakim juga harus dilatih untuk membaca, memahami, dan menggunakan informasi berbasis data forensik, dan tersedianya akses pada tenaga ahli yang relevan. Aturan tentang kesaksian ahli yang dapat dianggap sebagai bukti sah di pengadilan juga harus dibenahi agar terdapat standar dan akuntabilitas yang jelas.
 
Perangkat pemeriksaan korban perkosaan (rape kit) dan petugas terlatih di setiap puskesmas perlu dipastikan kesediaannya. Ini akan memudahkan korban kekerasan seksual memperoleh akses bantuan lebih cepat. Korban juga harus dijamin aksesnya pada proses aborsi aman lainnya yang sudah diatur yang ada.
 
"Menyediakan fasilitas dan menjamin akses bagi korban kekerasan pada semua pemeriksaan dan penanganan penyakit menular seksual dan membekali pendamping, pekerja sosial, dan tenaga kesejahteraan sosial kecamatan dengan keterampilan untuk mewawancarai dan mendampingi saksi/korban/pelaku anak-anak dan orang-orang berkebutuhan khusus," terang dia.
 
Peran masyarakat dalam perang melawan kekerasan seksual terhadap anak juga diperlukan. Mekanisme kewajiban melaporkan bagi orang-orang yang dekat dengan anak/korban perlu diperkuat. Jaminan perlindungan identitas korban dan tersangka, terutama anak-anak, di segala bentuk media publik harus ditegakkan secara konsisten.
 
Pemerintah juga harus meningkatkan kualitas dan ketersediaan informasi dan layanan kesehatan reproduksi komprehensif yang berkualitas, tidak diskriminatif, dan sesuai umur dan perkembangan anak. "Langkah ini mendukung implementasi UU Kesehatan dan PP 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi," pungkas dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan