Jakarta: Pemerintah dinilai tak cukup mengandalkan Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk menangani kelompok yang kerap meresahkan masyarakat dengan membawa identitas agama. Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Sosial (Kemensos) dinilai perlu ikut terlibat.
"Jangan sampai menggunakan agama untuk melakukan misalnya aksi teror, mengatasnamakan perintah agama. Ini Kementerian Agama harus mencermati hal ini," kata analis terorisme dan intelijen dari Universitas Indonesia (UI), Stanislaus Riyanta, kepada Medcom.id, Kamis, 31 Desember 2020.
Kemenag harus meluruskan mengenai isu liar yang berkembang di masyarakat. Khususnya, berkaitan dengan aksi kekerasan yang kerap dianggap sebagi pembenaran dalam agama.
Sedangkan, Kemensos perlu berperan dalam rehabilitasi anggota kelompok yang sempat terpapar radikal. Pendampingan Kemensos diperlukan agar anggota kelompok itu menjadi toleran.
(Baca: GP Ansor Ajak Eks Anggota FPI Gabung Ormas Resmi)
Stanislaus menyebut kelompok radikal terbentuk karena ketidakpercayaan terhadap negara. Pemikiran ini perlu digerus agar mereka tak bertindak terlalu jauh.
Hal ini tak terkecuali kepada mantan anggota Front Pembela Islam (FPI). Mereka mesti diberikan pemahaman kembali mengenai kehidupan bernegara.
"Ideologi itu sangat sulit untuk berubah, yang bisa diubah mereka diarahkan untuk toleran pada kelompok yang berbeda," ucap Stanislaus.
Pemerintah juga didorong mengambil langkah cepat ketika mendeteksi gerakan-gerakan mencurigakan. Dia menilai pemerintah terlalu lama membubarkan FPI. Pemerintah diduga menunggu momentum kepulangan pentolan FPI Rizieq Shihab dan situasi politik Tanah Air.
"Jadi jangan menunggu waktu lama. Kelamaan menurut saya (pembubaran FPI). (Jika) ini membesar dan akan cukup merepotkan," ujar dia.
Jakarta: Pemerintah dinilai tak cukup mengandalkan Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk menangani kelompok yang kerap meresahkan masyarakat dengan membawa identitas agama. Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Sosial (Kemensos) dinilai perlu ikut terlibat.
"Jangan sampai menggunakan agama untuk melakukan misalnya
aksi teror, mengatasnamakan perintah agama. Ini Kementerian Agama harus mencermati hal ini," kata analis terorisme dan intelijen dari Universitas Indonesia (UI), Stanislaus Riyanta, kepada
Medcom.id, Kamis, 31 Desember 2020.
Kemenag harus meluruskan mengenai isu liar yang berkembang di masyarakat. Khususnya, berkaitan dengan aksi kekerasan yang kerap dianggap sebagi pembenaran dalam agama.
Sedangkan, Kemensos perlu berperan dalam rehabilitasi anggota kelompok yang sempat terpapar radikal. Pendampingan Kemensos diperlukan agar anggota kelompok itu menjadi toleran.
(Baca:
GP Ansor Ajak Eks Anggota FPI Gabung Ormas Resmi)
Stanislaus menyebut kelompok radikal terbentuk karena ketidakpercayaan terhadap negara. Pemikiran ini perlu digerus agar mereka tak bertindak terlalu jauh.
Hal ini tak terkecuali kepada mantan anggota Front Pembela Islam (
FPI). Mereka mesti diberikan pemahaman kembali mengenai kehidupan bernegara.
"Ideologi itu sangat sulit untuk berubah, yang bisa diubah mereka diarahkan untuk toleran pada kelompok yang berbeda," ucap Stanislaus.
Pemerintah juga didorong mengambil langkah cepat ketika mendeteksi gerakan-gerakan mencurigakan. Dia menilai pemerintah terlalu lama membubarkan FPI. Pemerintah diduga menunggu momentum kepulangan pentolan FPI
Rizieq Shihab dan situasi politik Tanah Air.
"Jadi jangan menunggu waktu lama. Kelamaan menurut saya (pembubaran FPI). (Jika) ini membesar dan akan cukup merepotkan," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)