Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Foto: Medcom.id/Fachri Audhia Hafiez
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Foto: Medcom.id/Fachri Audhia Hafiez

Satu Hakim Beda Pendapat Terhadap Putusan Edhy Prabowo

Fachri Audhia Hafiez • 15 Juli 2021 18:58
Jakarta: Hakim anggota I, Suparman Nyompa, beda pendapat (dissenting opinion) terhadap putusan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Menurut dia, tidak ada bukti Edhy memerintahkan untuk menerima uang.
 
Uang yang dimaksud, berasal dari pemilik PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP), Suharjito, sebesar US$77 ribu atau sekitar Rp1,12 miliar. Uang diberikan untuk menerbitkan izin budidaya dan ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur.
 
"Bahwa dalam persidangan tidak ada bukti dan tidak ada fakta jika terdakwa Edhy Prabowo meminta uang atau memerintahkan tim uji tuntas atau due diligence memperoleh hadiah dari Suharjito," kata Suparman di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis, 15 Juli 2021.

Suparman mengatakan uang tersebut diterima staf khusus menteri kelautan dan perikanan, Safri. Namun, Safri tidak terbukti mendapat perintah dari Edhy.
 
Edhy, kata Suparman, hanya menekankan agar setiap permohonan untuk budidaya dan ekspor benih lobster tidak dipersulit. Tapi harus dipermudah.
 
Hakim yang juga mengadili perkara kerumunan Rizieq Shihab itu berpatokan pada kemudahan izin kapal tangkap ikan yang sebelumnya memakan waktu. Sejak Edhy menjabat, izin usaha kapal penangkap ikan selesai dalam waktu singkat.
 
Suparman menyebut pemberian izin kepada PT DPPP hanya melibatkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Budidaya dan Ditjen Tangkap. Kedua Ditjen itu menerbitkan izin budidaya dan ekspor BBL.
 
"Izin diberikan bukan karena ada perintah dari terdakwa kepada kedua ditjen tersebut," ucap Suparman.
 
Edhy dinilai hanya menerbitkan peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor: 12/PERMEN-KP/2020 yang isinya mengizinkan budidaya dan ekspor BBL. Pelaksanaan Permen KP dilakukan tim uji tuntas, ditjen, dan badan dalam lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
 
"Terdakwa tidak ada melakukan sesuatu dalam jabatannya karena adanya pemberian uang dari Suharjito tersebut," ujar Suparman.
 
Baca: Suap Izin Ekspor Benur, Edhy Prabowo Divonis 5 Tahun Penjara
 
Ia menilai Edhy tidak tepat dikenakan Pasal 12 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tipikor sebagaimana dakwaan alternatif pertama. Sebab, unsur pidana menerima hadiah atau janji terkait jabatannya dinilai tak terpenuhi.
 
"Bahwa hakim anggota satu berpendapat sesungguhnya hanya melanggar ketentuan Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 pada dakwaan alternatif kedua," jelas Suparman.
 
Edhy divonis selama lima tahun penjara serta denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan. Dia juga dikenakan membayar uang pengganti sebesar Rp9.687.447.219 dan sebesar USD77 ribu (sekitar Rp1,12 miliar). Hak dipilih dalam jabatan publik juga dicabut selama tiga tahun.
 
Edhy terbukti menerima suap terkait izin ekspor BBL. Majelis hakim menilai Edhy terbukti menerima suap total Rp25,7 miliar atas pengadaan ekspor benur.
 
Perbuatan Edhy melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(NUR)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan