Jakarta: Mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun tak mempermasalahkan ketiadaan paraf atau tanda tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Menurutnya, UU KPK otomatis berlaku setelah 30 hari diundangkan sesuai Pasal 20 Ayat 5 UUD 1945.
"Tidak ada yang salah dengan UU tersebut dan KPK bisa menjalankan tugasnya dalam memberantas korupsi," kata Gayus dalam webinar yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana (Unkris) bertajuk Mengkritisi Undang-Undang Tanpa Tanda Tangan Presiden Jokowi, Senin, 6 Juli 2020.
Gayus menambahkan ketiadaan paraf Jokowi pun tidak melanggar etika ketatanegaraan. Sebab, secara aklamasi telah disahkan DPR.
Ia justru mengapresiasi sikap Jokowi yang tak menandatangani beleid itu. Sikap tersebut, kata politikus PDI Perjuangan itu, merupakan bentuk penghargaan Jokowi atas hubungan pemerintah dan DPR.
"Sehingga, tidak ada yang salah dengan langkah yang dilakukan Presiden," kata dia.
Gayus berharap KPK tidak terganggu dengan belum ditandatangani UU tersebut. "KPK tetap bisa terus melakukan pemberantasan korupsi meskipun saat ini terjadi pandemi covid-19," kata dia.
Baca: Ahli: Pembentukan UU KPK Tanpa Dasar Demokrasi
UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) disahkan pada rapat paripurna kesembilan DPR, Selasa, 17 September 2019. Hingga kini, Jokowi belum juga menandatangani UU tersebut.
Sejumlah ahli hukum dan mantan komisioner KPK lantas mengajukan uji materi UU KPK ke MK. Saat ini uji materi tengah berlangsung. Terakhir, MK menghadirkan Ketua Mahkamah Agung periode 2001-2008, Bagir Manan, dalam sidang uji formil UU KPK pada Rabu, 24 Juni 2020.
Dalam sidang, Bagir yang berstatus sebagai ahli mempertanyakan sikap Jokowi yang tak juga menandatangani UU KPK. Menurutnya, sikap itu tak patut secara ketatanegaraan.
"Sudah disetujui, tapi tak ditandatangani. Pertanyaannya, Presiden tak menanda tangan berarti ada sesuatu yang tidak disetujui?" kata Bagir.
Jakarta: Mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun tak mempermasalahkan ketiadaan paraf atau tanda tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Menurutnya, UU KPK otomatis berlaku setelah 30 hari diundangkan sesuai Pasal 20 Ayat 5 UUD 1945.
"Tidak ada yang salah dengan UU tersebut dan KPK bisa menjalankan tugasnya dalam memberantas korupsi," kata Gayus dalam webinar yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana (Unkris) bertajuk Mengkritisi Undang-Undang Tanpa Tanda Tangan Presiden Jokowi, Senin, 6 Juli 2020.
Gayus menambahkan ketiadaan paraf Jokowi pun tidak melanggar etika ketatanegaraan. Sebab, secara aklamasi telah disahkan DPR.
Ia justru mengapresiasi sikap Jokowi yang tak menandatangani beleid itu. Sikap tersebut, kata politikus PDI Perjuangan itu, merupakan bentuk penghargaan Jokowi atas hubungan pemerintah dan DPR.
"Sehingga, tidak ada yang salah dengan langkah yang dilakukan Presiden," kata dia.
Gayus berharap KPK tidak terganggu dengan belum ditandatangani UU tersebut. "KPK tetap bisa terus melakukan pemberantasan korupsi meskipun saat ini terjadi pandemi covid-19," kata dia.
Baca:
Ahli: Pembentukan UU KPK Tanpa Dasar Demokrasi
UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) disahkan pada rapat paripurna kesembilan DPR, Selasa, 17 September 2019. Hingga kini, Jokowi belum juga menandatangani UU tersebut.
Sejumlah ahli hukum dan mantan komisioner KPK lantas mengajukan uji materi UU KPK ke MK. Saat ini uji materi tengah berlangsung. Terakhir, MK menghadirkan Ketua Mahkamah Agung periode 2001-2008, Bagir Manan, dalam sidang uji formil UU KPK pada Rabu, 24 Juni 2020.
Dalam sidang, Bagir yang berstatus sebagai ahli mempertanyakan sikap Jokowi yang tak juga menandatangani UU KPK. Menurutnya, sikap itu tak patut secara ketatanegaraan.
"Sudah disetujui, tapi tak ditandatangani. Pertanyaannya, Presiden tak menanda tangan berarti ada sesuatu yang tidak disetujui?" kata Bagir.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)