medcom.id, Jakarta: Rezim kuota impor pangan kembali memakan korban: Irman Gusman. Ketua DPD RI itu diduga memengaruhi penentuan pemegang kuota impor gula 2016. Irman Gusman terjaring operasi tangkap tangan dengan bukti uang suap Rp100 juta dan kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) M. Syarkawi Rauf menilai, kejadian itu bersumber dari rezim kebijakan pengendalian impor pangan di Indonesia yang menggunakan sistem kuota. Pemerintah mengendalikan impor pangan dengan cara membagi kuota (jatah) impor kepada importir sesuai kebutuhan dalam negeri.
"Sejak awal, rezim kuota impor berpotensi melahirkan masalah hukum, baik dari aspek pidana maupun hukum persaingan usaha," papar Syarkawi dalam keterangan resmi, Senin (19/9/2016).
Secara pidana, kata dia, rezim kuota dapat memfasilitasi persekongkolan antara pemberi kuota dengan calon penerima kuota. Sementara dari sisi hukum persaingan usaha, rezim kuota berpotensi memfasilitasi terjadinya praktik kartel, yaitu persekongkolan antarpelaku usaha dalam menetapkan harga dan mengatur pasokan ke pasar.
Ketua DPD Irman Gusman (tengah) keluar dari gedung KPK seusai diperiksa penyidik terkait kasus dugaan suap kuota impor gula, Jakarta, Sabtu (17/9/2016). KPK menetapkan Irman Gusman sebagai tersangka terkait kasus dugaan suap pengurusan kuota gula impor. Foto: Antara/Yudhi Mahatma.
Syarkawi mengatakan, praktik korupsi dalam rezim kuota impor sangat mudah terjadi. Pasalnya, hampir semua komoditas pangan memiliki disparitas harga yang tinggi antara harga dalam negeri dan internasional. Hal tersebut memberi insentif bagi calon penerima kuota untuk menyuap dalam jumlah yang sangat besar.
Adapun dalam kasus gula impor, terdapat selisih harga antara patokan harga pemerintah dan harga internasional. Harga pokok gula yang ditetapkan pemerintah sekitar Rp9.100 per kg, sementara harga internasional sekitar Rp6.500 per kg.
Namun, harga gula di pasar domestik masih sekitar Rp13.000 per kg dan bahkan pernah mencapai Rp16.000-Rp17.000 per kg.
"Disparitas harga domestik dan internasional yang tinggi ditambah dengan lemahnya transparansi dan akuntabilitas dalam penentuan pemegang kuota impor memberi peluang terjadinya praktik penyuapan. Modus praktik KKN dalam penentuan kuota impor pangan sangat mudah ditelusuri karena hanya memanfaatkan perhitungan besarnya selisih harga domestik dan internasional," ungkap Syarkawi.
Dia menjelaskan rendahnya akurasi data produksi dan konsumsi dalam negeri juga masih buruk. Karena itu, sangat memungkinkan terjadi kelebihan hitungan dalam menentukan produksi dalam negeri. Implikasinya justru terjadi kekurangan hitung dalam menetapkan kuota impor.
"Pengalaman menunjukkan bahwa realisasi impor pangan selalu lebih rendah dari besarnya kuota yang diberikan berimplikasi pada kelangkaan dan tingginya harga pangan di dalam negeri," kata dia.
Ketua DPD RI Irman Gusman memasuki mobil tahanan saat keluar dari Gedung KPK di Jakarta, Sabtu (17/9/2016). KPK menetapkan Ketua DPD RI Irman Gusman sebagai tersangka terkait kasus dugaan suap pengurusan kuota gula impor. Foto: MI/Arya Manggala.
Kondisi itu diperparah penetapan pemegang kuota impor yang tidak transparan. Kuota impor hanya terkonsentrasi pada beberapa grup perusahaan dan menciptakan struktur pasar komoditas pangan yang oligopoli.
Karena itu, KPPU mendesak pemerintah serius membenahi permasalahan di hulu dengan meningkatkan efisiensi dan produktivitas sektor pertanian, khususnya komoditas pangan strategis. Selain itu, pemerintah harus mengubah rezim kuota menjadi skema tarif.
"Sistem tarif memberi peluang kepada semua pelaku usaha mengimpor dengan membayar tarif bea masuk yang ditetapkan pemerintah. Pola ini diharapkan mengikis potensi korupsi karena mengurangi interaksi antara importir dengan pemerintah dan mengurangi konsentrasi pada importir tertentu," papar Syarkawi.
Pun, pemerintah harus mengubah manajemen tata niaga komoditas pangan yang memberlakukan kontrol ketat di hulu, tapi sangat liberal di sisi hilir karena tidak ada pengawasan. Pola manajemen seperti itu, kata Syarkawi, sangat rawan korupsi dan praktik kartel yang merugikan konsumen.
"Dalam jangka sangat pendek perlu didorong transparansi dalam penetapan pemegang kuota impor. Pemerintah dapat melakukan tender terbuka disertai persyaratan harga jual di pasar lokal. Tentu saja, perlu melibatkan BUMN dalam setiap komoditas pangan strategis sehingga pengendalian pasokan dan harga bisa dilakukan melalui intervensi pasar," kata dia.
medcom.id, Jakarta: Rezim kuota impor pangan kembali memakan korban: Irman Gusman. Ketua DPD RI itu diduga memengaruhi penentuan pemegang kuota impor gula 2016. Irman Gusman terjaring operasi tangkap tangan dengan bukti uang suap Rp100 juta dan kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) M. Syarkawi Rauf menilai, kejadian itu bersumber dari rezim kebijakan pengendalian impor pangan di Indonesia yang menggunakan sistem kuota. Pemerintah mengendalikan impor pangan dengan cara membagi kuota (jatah) impor kepada importir sesuai kebutuhan dalam negeri.
"Sejak awal, rezim kuota impor berpotensi melahirkan masalah hukum, baik dari aspek pidana maupun hukum persaingan usaha," papar Syarkawi dalam keterangan resmi, Senin (19/9/2016).
Secara pidana, kata dia, rezim kuota dapat memfasilitasi persekongkolan antara pemberi kuota dengan calon penerima kuota. Sementara dari sisi hukum persaingan usaha, rezim kuota berpotensi memfasilitasi terjadinya praktik kartel, yaitu persekongkolan antarpelaku usaha dalam menetapkan harga dan mengatur pasokan ke pasar.
Ketua DPD Irman Gusman (tengah) keluar dari gedung KPK seusai diperiksa penyidik terkait kasus dugaan suap kuota impor gula, Jakarta, Sabtu (17/9/2016). KPK menetapkan Irman Gusman sebagai tersangka terkait kasus dugaan suap pengurusan kuota gula impor. Foto: Antara/Yudhi Mahatma.
Syarkawi mengatakan, praktik korupsi dalam rezim kuota impor sangat mudah terjadi. Pasalnya, hampir semua komoditas pangan memiliki disparitas harga yang tinggi antara harga dalam negeri dan internasional. Hal tersebut memberi insentif bagi calon penerima kuota untuk menyuap dalam jumlah yang sangat besar.
Adapun dalam kasus gula impor, terdapat selisih harga antara patokan harga pemerintah dan harga internasional. Harga pokok gula yang ditetapkan pemerintah sekitar Rp9.100 per kg, sementara harga internasional sekitar Rp6.500 per kg.
Namun, harga gula di pasar domestik masih sekitar Rp13.000 per kg dan bahkan pernah mencapai Rp16.000-Rp17.000 per kg.
"Disparitas harga domestik dan internasional yang tinggi ditambah dengan lemahnya transparansi dan akuntabilitas dalam penentuan pemegang kuota impor memberi peluang terjadinya praktik penyuapan. Modus praktik KKN dalam penentuan kuota impor pangan sangat mudah ditelusuri karena hanya memanfaatkan perhitungan besarnya selisih harga domestik dan internasional," ungkap Syarkawi.
Dia menjelaskan rendahnya akurasi data produksi dan konsumsi dalam negeri juga masih buruk. Karena itu, sangat memungkinkan terjadi kelebihan hitungan dalam menentukan produksi dalam negeri. Implikasinya justru terjadi kekurangan hitung dalam menetapkan kuota impor.
"Pengalaman menunjukkan bahwa realisasi impor pangan selalu lebih rendah dari besarnya kuota yang diberikan berimplikasi pada kelangkaan dan tingginya harga pangan di dalam negeri," kata dia.
Ketua DPD RI Irman Gusman memasuki mobil tahanan saat keluar dari Gedung KPK di Jakarta, Sabtu (17/9/2016). KPK menetapkan Ketua DPD RI Irman Gusman sebagai tersangka terkait kasus dugaan suap pengurusan kuota gula impor. Foto: MI/Arya Manggala.
Kondisi itu diperparah penetapan pemegang kuota impor yang tidak transparan. Kuota impor hanya terkonsentrasi pada beberapa grup perusahaan dan menciptakan struktur pasar komoditas pangan yang oligopoli.
Karena itu, KPPU mendesak pemerintah serius membenahi permasalahan di hulu dengan meningkatkan efisiensi dan produktivitas sektor pertanian, khususnya komoditas pangan strategis. Selain itu, pemerintah harus mengubah rezim kuota menjadi skema tarif.
"Sistem tarif memberi peluang kepada semua pelaku usaha mengimpor dengan membayar tarif bea masuk yang ditetapkan pemerintah. Pola ini diharapkan mengikis potensi korupsi karena mengurangi interaksi antara importir dengan pemerintah dan mengurangi konsentrasi pada importir tertentu," papar Syarkawi.
Pun, pemerintah harus mengubah manajemen tata niaga komoditas pangan yang memberlakukan kontrol ketat di hulu, tapi sangat liberal di sisi hilir karena tidak ada pengawasan. Pola manajemen seperti itu, kata Syarkawi, sangat rawan korupsi dan praktik kartel yang merugikan konsumen.
"Dalam jangka sangat pendek perlu didorong transparansi dalam penetapan pemegang kuota impor. Pemerintah dapat melakukan tender terbuka disertai persyaratan harga jual di pasar lokal. Tentu saja, perlu melibatkan BUMN dalam setiap komoditas pangan strategis sehingga pengendalian pasokan dan harga bisa dilakukan melalui intervensi pasar," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(MBM)