Jakarta: Pakar hukum pidana, Romli Atmasasmita, menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus memiliki pengawas yang melekat di struktur. Pembentukan pengawas itu dilakukan melalui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
“Revisi UU KPK itu harus, pembentukan pengawas harus. Namanya apa kek, mau dewan atau lainnya, tapi harus ada pengawasan yang melekat nempel di struktur. Bukan di luar struktur,” kata Romli di Jakarta, Selasa, 10 Agustus 2019.
Pengisi posisi pengawas tersebut perlu dibicarakan dengan matang. Jangan sampai orang tersebut justru diawasi.
“Jadi ada bahasa who control the controlers. Pertanyaannya sekarang siapa? Apa malaikat lagi atau setengah malaikat?” ujar dia.
Pada prinsipnya, Romli mengatakan revisi UU KPK suatu kenicayaan. Ibarat mobil, UU yang sudah berusia 17 tahun perlu ditukar tambah mengikuti perkembangan zaman. Paling tidak harus diperbaiki onderdilnya.
Romli juga menyoroti tentang penyadapan. Prosedur penyadapan perlu direvisi karena ada beberapa syarat yang harus dipenuhi KPK.
“Siapa objeknya, siapa subjek, apa masalahnya, berapa lama disadap, kepada siapa harus bertanggung jawab. Nah, mekanisme ini tidak ada di KPK, ini blong,” kata dia.
Dia menilai operasi tangkap tangan (OTT) KPK juga menjadi polemik.
Beberapa OTT itu dimulai dari penyadapan. KPK yang mengetahui akan terjadi transaksi, justru tidak mencegah tindakan korup demi menangkap tersangka yang lebih 'kakap'. Padahala, KPK bisa mencegah korupsi terjadi.
“KPK (justru) tidak begitu, lembaga terhormat dibikin tidak terhormat. Kenapa tidak dikasih tahu? Harusnya pencegahan. Makanya saya bilang pencegahannya amburadul,” kata dia.
Penyadapan dalam criminal justice system menjadi the last tool atau alat terakhir di semua negara. Mafia yang sudah terorganisir memang perlu disadap lantaran sulit untuk diungkap kasusnya. Sedangkan, pejabat tidak perlu disadap karena bisa diungkap melalui perkembangan penyelidikan.
“Biasanya penyelidikan itu turun cari peristiwa. Penyadapan itu paling enak, duduk diem terima laporan masyarakat lalu disadap. Jadi penyelidikannya di belakang meja, turun itu kalau dia gerebek. Nangkep baru turun ramai-ramai, operasional gede,” pungkas dia.
Jakarta: Pakar hukum pidana, Romli Atmasasmita, menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus memiliki pengawas yang melekat di struktur. Pembentukan pengawas itu dilakukan melalui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
“Revisi UU KPK itu harus, pembentukan pengawas harus. Namanya apa kek, mau dewan atau lainnya, tapi harus ada pengawasan yang melekat
nempel di struktur. Bukan di luar struktur,” kata Romli di Jakarta, Selasa, 10 Agustus 2019.
Pengisi posisi pengawas tersebut perlu dibicarakan dengan matang. Jangan sampai orang tersebut justru diawasi.
“Jadi ada bahasa
who control the controlers. Pertanyaannya sekarang siapa? Apa malaikat lagi atau setengah malaikat?” ujar dia.
Pada prinsipnya, Romli mengatakan revisi UU KPK suatu kenicayaan. Ibarat mobil, UU yang sudah berusia 17 tahun perlu ditukar tambah mengikuti perkembangan zaman. Paling tidak harus diperbaiki onderdilnya.
Romli juga menyoroti tentang penyadapan. Prosedur penyadapan perlu direvisi karena ada beberapa syarat yang harus dipenuhi KPK.
“Siapa objeknya, siapa subjek, apa masalahnya, berapa lama disadap, kepada siapa harus bertanggung jawab. Nah, mekanisme ini tidak ada di KPK, ini
blong,” kata dia.
Dia menilai operasi tangkap tangan (OTT) KPK juga menjadi polemik.
Beberapa OTT itu dimulai dari penyadapan. KPK yang mengetahui akan terjadi transaksi, justru tidak mencegah tindakan korup demi menangkap tersangka yang lebih 'kakap'. Padahala, KPK bisa mencegah korupsi terjadi.
“KPK (justru) tidak begitu, lembaga terhormat dibikin tidak terhormat. Kenapa tidak dikasih tahu? Harusnya pencegahan. Makanya saya bilang pencegahannya amburadul,” kata dia.
Penyadapan dalam
criminal justice system menjadi
the last tool atau alat terakhir di semua negara. Mafia yang sudah terorganisir memang perlu disadap lantaran sulit untuk diungkap kasusnya. Sedangkan, pejabat tidak perlu disadap karena bisa diungkap melalui perkembangan penyelidikan.
“Biasanya penyelidikan itu turun cari peristiwa. Penyadapan itu paling enak, duduk diem terima laporan masyarakat lalu disadap. Jadi penyelidikannya di belakang meja, turun itu kalau dia gerebek.
Nangkep baru turun ramai-ramai, operasional
gede,” pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)