Jakarta: Pemotongan masa hukuman terdakwa kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1, Idrus Marham, dinilai seharusnya tak terjadi. Pasalnya, ada tiga norma yang harus dipegang teguh hakim.
"Pertama, dibatasi oleh UU (undang-undang) atau kepastian hukum," kata pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, kepada Medcom.id, Kamis, 5 Desember 2019.
Menurut dia, kepastian hukum berkaitan dengan pembuktian perkara Idrus. Fickar mencontoh Idrus sudah divonis tiga tahun di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat. Pengadilan Tinggi DKI lalu memberatkan hukuman Idrus menjadi lima tahun penjara.
Dari pemberatan itu, pembuktian perkara sejatinya sudah tergambar jelas. Hukum menjamin Idrus terbukti bersalah. Namun, Mahkamah Aguntg (MA) malah memangkas masa hukuman menjadi dua tahun penjara di proses kasasi.
Norma kedua yakni putusan yang kontekstual atau mengandung rasa keadilan masyarakat. Hakim agung, kata Fickar, perlu menimbang respons masyarakat terkait koruptor. Namun, hal ini tak terlihat karena Idrus yang terbukti bersalah malah diringankan hukumannya.
Aturan ketiga soal kebebasan hakim memutus perkara. Hal ini menyangkut apakah hukum digunakan untuk kepentingan pribadi hakim atau memberikan manfaat bagi masyarakat. Hakim, kata dia, seharusnya berpihak pada keadilan, kecuali mereka menerima suap.
"Jadi penggunaan kebebasan itu sebuah pilihan yang seharusnya memenuhi tiga kepentingan itu sekaligus," kata Fickar.
Ke depan, dia ingin komite pengawas hakim, baik Komisi Yudisial (KY) atau Badan Pengawas MA memberikan pengawasan terbaik. Fickar melihat perilaku 'penyunatan' masa hukuman ini jadi preseden buruk.
"Tindakan pengawasan saja diperketat dan hukum dijalankan dengan tegas," kata dia.
Jakarta: Pemotongan masa hukuman terdakwa kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1, Idrus Marham, dinilai seharusnya tak terjadi. Pasalnya, ada tiga norma yang harus dipegang teguh hakim.
"Pertama, dibatasi oleh UU (undang-undang) atau kepastian hukum," kata pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, kepada
Medcom.id, Kamis, 5 Desember 2019.
Menurut dia, kepastian hukum berkaitan dengan pembuktian perkara Idrus. Fickar mencontoh Idrus sudah divonis tiga tahun di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat. Pengadilan Tinggi DKI lalu memberatkan hukuman Idrus menjadi lima tahun penjara.
Dari pemberatan itu, pembuktian perkara sejatinya sudah tergambar jelas. Hukum menjamin Idrus terbukti bersalah. Namun, Mahkamah Aguntg (MA) malah memangkas masa hukuman menjadi dua tahun penjara di proses kasasi.
Norma kedua yakni putusan yang kontekstual atau mengandung rasa keadilan masyarakat. Hakim agung, kata Fickar, perlu menimbang respons masyarakat terkait koruptor. Namun, hal ini tak terlihat karena
Idrus yang terbukti bersalah malah diringankan hukumannya.
Aturan ketiga soal kebebasan hakim memutus perkara. Hal ini menyangkut apakah hukum digunakan untuk kepentingan pribadi hakim atau memberikan manfaat bagi masyarakat. Hakim, kata dia, seharusnya berpihak pada keadilan, kecuali mereka menerima suap.
"Jadi penggunaan kebebasan itu sebuah pilihan yang seharusnya memenuhi tiga kepentingan itu sekaligus," kata Fickar.
Ke depan, dia ingin komite pengawas hakim, baik Komisi Yudisial (KY) atau Badan Pengawas MA memberikan pengawasan terbaik. Fickar melihat perilaku 'penyunatan' masa hukuman ini jadi preseden buruk.
"Tindakan pengawasan saja diperketat dan hukum dijalankan dengan tegas," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)