Jakarta: Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto membantah terlibat dugaan suap koordinasi tambang ilegal di Kalimantan Timur (Kaltim). Bantahan itu diharapkan tidak menghentikan pemeriksaan terhadap Agus.
Pengamat kepolisan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mengatakan semestinya Agus tetap diperiksa untuk memastikan fakta dari tudingan mantan anggota Satuan Intelkam Polresta Samarinda, Aiptu (Purn) Ismail Bolong. Sebagaimana mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo, yang tetap diperiksa meski sempat membantah terlibat dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
"Bantahan Kabareskrim tersebut tentunya tidak bisa jadi dalih untuk menghentikan pemeriksaan. Semua orang yang diduga terlibat dalam suatu tindak pidana pasti akan membantah dan menyampaikan alibi-alibi," kata Bambang saat dikonfirmasi, Jumat, 25 November 2022.
Menurut Bambang, surat laporan hasil penyelidikan (LHP) terkait adanya dugaan setoran uang hasil bisnis tambang ilegal Ismail Bolong merupakan fakta yang tak terbantahkan. Dia meyakini surat pemeriksaan Karo Paminal yang kala itu dijabat Hendra Kurniawan dan surat rekomendasi Kadiv Propam yang kala itu dijabat Ferdy Sambo tertanggal 7 April 2022, itu benar adanya.
"Secara logika, Ferdy Sambo dan Hendra Kurniawan pada waktu itu belum punya motif untuk menjatuhkan Kabareskrim dan koleganya, yang dibuktikan rekomendasi yang diberikan tak menyentuh pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan para pati tersebut," kata Bambang.
Bambang menyarankan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo turun tangan menyelesaikan kasus yang menyeret Kabareskrim. Sekaligus, dia meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menaruh perhatian terhadap kasus tersebut.
"Kapolri yang harus turun tangan sendiri, dan karena penunjukan bintang tiga juga seizin Presiden, sebaiknya Presiden juga melakukan monitoring terkait kasus ini," pungkasnya.
Sebelumnya, beredar surat LHP yang ditujukan kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dari Kepala Divisi Propam Polri, saat itu Ferdy Sambo, Nomor: R/1253/WAS.2.4/2022/IV/DIVPROPAM, tanggal 7 April 2022, bersifat rahasia.
Dalam dokumen poin h, tertulis Aiptu Ismail Bolong memberikan uang koordinasi ke Bareskrim Polri diserahkan kepada Kombes BH selaku Kasubdit V Dittipidter sebanyak tiga kali. Yaitu, bulan Oktober, November, dan Desember 2021 sebesar Rp3 miliar setiap bulan untuk dibagikan di Dittipidter Bareskrim.
Selain itu, memberikan uang koordinasi kepada Komjen Agus Andrianto selaku Kabareskrim Polri secara langsung di ruang kerja Kabareskrim dalam bentuk mata uang dolar Amerika Serikat sebanyak tiga kali. Yaitu pada Oktober, November, dan Desember 2021, sebesar Rp2 miliar.
Kesimpulan laporan hasil penyelidikan ditemukan fakta-fakta bahwa di wilayah hukum Polda Kalimantan Timur, terdapat beberapa penambangan batu bara ilegal yang tidak dilengkapi izin usaha penambangan (IUP). Namun, tidak dilakukan upaya tindakan hukum dari Polsek, Polres, Polda Kalimantan Timur, dan Bareskrim karena adanya uang koordinasi dari para pengusaha tambang ilegal. Selain itu, ada kedekatan Tan Paulin dan Leny Tulus dengan pejabat Polda Kalimantan Timur.
Baca: Polri Panggil Ismail Bolong Soal Tambang Ilegal Kaltim |
Kasus ini mulanya dibongkar Ismail Bolong, mantan anggota polisi. Purnawirawan berpangkat ajun inspektur polisi satu (aiptu) itu membuat video testimoni yang menyebut Komjen Agus menerima setoran uang Rp6 miliar dari seorang pengusaha untuk mengamankan tambang ilegal di Kalimantan Timur (Kaltim). Terakhir, dia mencabut pernyataannya karena bersaksi atas tekanan.
Komjen Agus Andrianto membantah
Komjen Agus Andrianto akhirnya buka suara dan membantah tudingan tersebut. Menurut Agus, keterangan dalam laporan itu tak membuktikan ada keterlibatannya di balik kasus Ismail Bolong.
"Keterangan saja tidak cukup," kata Agus saat dikonfirmasi, Jumat, 25 November 2022.
Agus menyebut Ismail Bolong dalam video yang beredar pun sudah meluruskan bila tidak ada keterlibatannya. Apalagi, kata dia, pengakuan yang menyebut Kabareskrim menerima suap terpaksa diucapkan karena ada intimidasi.
"Apalagi sudah diklarifikasi karena dipaksa," ungkap Agus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di