medcom.id, Jakarta: Pelaksana Tugas Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Tengku Bahdar Johan Hamid mengaku pihaknya memang kurang bertaring dalam menindak peredaran vaksin palsu. BPOM tak punya kewenangan lebih seperti yang dimiliki kepolisian.
"Kalau ilegal kami lakukan dengan kepolisian. BPOM kurang sanggup kalau ilegal, perlu penahanan, penyitaan, lacak telepon. Kami tak punya kewenangan itu," kata Bahdar di BPOM, Jalan Percetakan Negara, Jakarta Timur, Senin (28/6/2016).
Menurut dia, BPOM tak bisa sendirian menindak peredaran vaksin maupun obat-obatan palsu lainnya. Mereka perlu bekerja sama dengan Korps Bhayangkara.
Dia mencontohkan, saat Mabes Polri menerima laporan PT Sanofi-Aventis Indonesia terkait peredaran produk vaksin Sanofi yang dipalsukan pada 2016. Badan POM, kata dia, telah menelusuri ke sarana distribusi yang diduga menyalurkan produk vaksin palsu tersebut.
Ilustrasi vaksin palsu di Riau/ANT/Rony Muharman
Berdasarkan penelusuran, diketahui CV AM yang diduga melakukan pemalsuan menggunakan alamat fiktif. "Karena kami bukan kepolisian, kami susah lacak (lebih jauh)," jelas dia.
Di sisi lain, Bareskrim Polri secara paralel menyelidiki kasus tersebut. "Polisi terus menelusuri dan ditemukan hal besar ini," ujar dia.
BPOM, kata Bahdar, berencana membuat nota kesepahaman dengan Polri untuk menangani masalah semacam ini. Kasus ini cukup memukul pihaknya.
"Kami kecewa kriminal masuk ke ranah bayi," ujar dia.
Bareskrim Polri membokar jaringan vaksin palsu dan telah menetapkan 16 tersangka. Sedikitnya 15 tersangka telah ditahan dan 18 saksi telah diperiksa dalam kasus ini.
Tersangka dianggap pelanggar UU Kesehatan, UU Perlindungan Konsumen dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara.
medcom.id, Jakarta: Pelaksana Tugas Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Tengku Bahdar Johan Hamid mengaku pihaknya memang kurang bertaring dalam menindak peredaran vaksin palsu. BPOM tak punya kewenangan lebih seperti yang dimiliki kepolisian.
"Kalau ilegal kami lakukan dengan kepolisian. BPOM kurang sanggup kalau ilegal, perlu penahanan, penyitaan, lacak telepon. Kami tak punya kewenangan itu," kata Bahdar di BPOM, Jalan Percetakan Negara, Jakarta Timur, Senin (28/6/2016).
Menurut dia, BPOM tak bisa sendirian menindak peredaran vaksin maupun obat-obatan palsu lainnya. Mereka perlu bekerja sama dengan Korps Bhayangkara.
Dia mencontohkan, saat Mabes Polri menerima laporan PT Sanofi-Aventis Indonesia terkait peredaran produk vaksin Sanofi yang dipalsukan pada 2016. Badan POM, kata dia, telah menelusuri ke sarana distribusi yang diduga menyalurkan produk vaksin palsu tersebut.
Ilustrasi vaksin palsu di Riau/ANT/Rony Muharman
Berdasarkan penelusuran, diketahui CV AM yang diduga melakukan pemalsuan menggunakan alamat fiktif. "Karena kami bukan kepolisian, kami susah lacak (lebih jauh)," jelas dia.
Di sisi lain, Bareskrim Polri secara paralel menyelidiki kasus tersebut. "Polisi terus menelusuri dan ditemukan hal besar ini," ujar dia.
BPOM, kata Bahdar, berencana membuat nota kesepahaman dengan Polri untuk menangani masalah semacam ini. Kasus ini cukup memukul pihaknya.
"Kami kecewa kriminal masuk ke ranah bayi," ujar dia.
Bareskrim Polri membokar jaringan vaksin palsu dan telah menetapkan 16 tersangka. Sedikitnya 15 tersangka telah ditahan dan 18 saksi telah diperiksa dalam kasus ini.
Tersangka dianggap pelanggar UU Kesehatan, UU Perlindungan Konsumen dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OJE)