Jakarta: Bom bunuh diri di Gereja Kathedral, Makassar, Sulawesi Selatan, dan teror di Mabes Polri, DKI Jakarta, melibatkan perempuan sebagai pelakunya. Hal itu menunjukkan perempuan rentan terjerumus dalam terorisme dan radikalisme.
"Hal ini disebabkan karena faktor sosial, ekonomi, perbedaan pola pikir, serta adanya doktrin yang terus mendorong, bahkan menginspirasi para perempuan hingga mereka nekat melakukan aksi terorisme dan radikalisme,” ungkap Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian (PPPA) Ratna Susianawati seperti dikutip dari Mediaindonesia.com, Minggu, 4 April 2021.
Menurut dia, kerentanan dan ketidaktahuan membuat perempuan kerap dimanfaatkan dalam radikalisme dan terorisme. Keterbatasan akses informasi dan menyampaikan pandangan juga turut menjadi faktor pemicu.
Baca: Bertambah, Total Teroris yang Ditangkap Menjadi 60
"Di sinilah pentingnya ketahanan keluarga dan strategi komunikasi yang baik untuk membangun karakter anak dengan menginternalisasi nilai-nilai sesuai norma hukum, adat, agama, dan budaya," jelas dia.
Ratna menilai ketahanan keluarga dan strategi komunikasi yang baik dibutuhkan sebagai fondasi dalam pengasuhan anak. Orang tua harus bisa menjalin hubungan, mengawasi, memberikan edukasi, menerapkan pola komunikasi terbuka dan mudah dipahami kepada anak.
"(Serta) menerapkan pola pengasuhan dengan kesiapsiagaan dan mendeteksi risiko karena banyak perempuan yang tidak tahu apa saja risiko yang akan ia hadapi, mengingat minimnya pengetahuan," terang Ratna.
Untuk menangani terorisme dan radikalisme, pemerintah tidak bisa bergerak sendiri. Sinergi semua pihak untuk bergerak secara masif dan berkelanjutan amat diperlukan. Terorisme dan radikalisme ini, kata dia, menjadi tantangan besar dalam menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas.
Jakarta: Bom bunuh diri di Gereja Kathedral, Makassar, Sulawesi Selatan, dan
teror di Mabes Polri, DKI Jakarta, melibatkan perempuan sebagai pelakunya. Hal itu menunjukkan perempuan rentan terjerumus dalam
terorisme dan
radikalisme.
"Hal ini disebabkan karena faktor sosial, ekonomi, perbedaan pola pikir, serta adanya doktrin yang terus mendorong, bahkan menginspirasi para perempuan hingga mereka nekat melakukan aksi terorisme dan radikalisme,” ungkap Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian (PPPA) Ratna Susianawati seperti dikutip dari
Mediaindonesia.com, Minggu, 4 April 2021.
Menurut dia, kerentanan dan ketidaktahuan membuat perempuan kerap dimanfaatkan dalam radikalisme dan terorisme. Keterbatasan akses informasi dan menyampaikan pandangan juga turut menjadi faktor pemicu.
Baca:
Bertambah, Total Teroris yang Ditangkap Menjadi 60
"Di sinilah pentingnya ketahanan keluarga dan strategi komunikasi yang baik untuk membangun karakter anak dengan menginternalisasi nilai-nilai sesuai norma hukum, adat, agama, dan budaya," jelas dia.
Ratna menilai ketahanan keluarga dan strategi komunikasi yang baik dibutuhkan sebagai fondasi dalam pengasuhan anak. Orang tua harus bisa menjalin hubungan, mengawasi, memberikan edukasi, menerapkan pola komunikasi terbuka dan mudah dipahami kepada anak.
"(Serta) menerapkan pola pengasuhan dengan kesiapsiagaan dan mendeteksi risiko karena banyak perempuan yang tidak tahu apa saja risiko yang akan ia hadapi, mengingat minimnya pengetahuan," terang Ratna.
Untuk menangani terorisme dan radikalisme, pemerintah tidak bisa bergerak sendiri. Sinergi semua pihak untuk bergerak secara masif dan berkelanjutan amat diperlukan. Terorisme dan radikalisme ini, kata dia, menjadi tantangan besar dalam menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(OGI)