medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konstitusi menyidangkan uji materi Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) No 8 tahun 2010 yang diajukan oleh mantan Ketua MK Akil Mochtar. Sidang dipimpin Hakim Konstitusi Muhammad Alim. Agenda sidang pemeriksaan pendahuluan.
Sidang tidak dihadiri oleh Akil Mochtar. Akil diwakili kuasa hukumnya, Adardam Achyar. Adardam menjelaskan, uji materi diajukan karena pemohon merasa dirugikan hak konstitusinya. Akil menilai pasal-pasal di UU TPPU multitafsir.
Akil divonis penjara seumur hidup dalam kasus suap pemilu kepala daerah Lebak, Banten. Ia merasa dirugikan dengan berlakunya beberapa pasal di UU TPPU. Pasal-pasal yang digugat adalah Pasal 2 ayat 2, Pasal 3, 4, 5 ayat (1), Pasal 69, Pasal 76 ayat (1), Pasal 77, Pasal 78 ayat (1), dan Pasal 95 UU TPPU.
"Pemohon menggugat frasa 'patut diduga' yang termuat dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, 4 dan 5 ayat (2). Menurut kami kalau kita kembali pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) TPPU berkaitan dengan adanya tindak pidana asal, sehingga 'patut diduga' seakan dapat menyampingkan dapat ditafsirkan tidak mutlak adanya tindak pidana asal di dalam TPPU," ujar Adardam Achyar di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (29/8/2014).
Adardam menjelaskan, TPPU adalah tindak pidana lanjutan dari tindak pidana asal yang diatur di Pasal 2 ayat (1). Menurut Adardam, supaya ada kepastian hukum yang berkeadilan harus dikatakan seseorang nyata-nyata mengetahui adanya tindak pidana asal itu. Karena itu, Akil meminta frasa 'patut diduga' dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Akil juga mempersoalkan frasa 'tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya' di Pasal 69. Adardam mengatakan, kalau tidak wajib dibuktikan tindak pidana asalnya bagaimana bisa dianggap itu hasil tindak pidana.
"Berdasarkan pengalaman klien kami sedemikian rupa telah diterapkan seakan-akan tidak ada kewajiban penyidik untuk membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asal, sehingga banyak harta kekayaan pemohon yang dinyatakan tidak ada kaitan dengan tindak pidana asal disita dan dalam putusan pengadilan tindak pidana korupsi dirampas untuk negara. Ini yang kami rasa tidak adil," papar dia.
Lalu Pasal 76 ayat (1), Akil menilai tidak ada kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut dalam kasus TPPU. Akil meminta MK memberikan tafsir konstitusi apakah penuntut dalam penanganan TPPU hanya pada kejaksaan atau termasuk juga penuntut umum di KPK.
Akil mengaku punya pengalaman buruk dalam penerapan Pasal 77 dan 78 UU TPPU. Kedua pasal ini membahas soal pembuktian harta kekayaan bukan berasal dari tindak pidana. Akil mengaku dirugikan karena penerapannya tidak terbatas.
"Jadi pemohon mempunyai pengalaman bahwa diharuskan membuktikan asal-usul seluruh kekayaan tanpa batas, dengan tindak pidana kekayaan yang didakwakan. Fakta persidangan, ahli KPK menyatakan dalam pelaksanakan Pasal 77-78 sudah menjadi yurisprudensi di dalam beberapa putusan Mahkamah Agung. Oleh karena itu tiada lain kami meminta uji materi ke MK memastikan apakah bertentangan dengan konstitusi atau tidak," ujar Adardam.
medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konstitusi menyidangkan uji materi Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) No 8 tahun 2010 yang diajukan oleh mantan Ketua MK Akil Mochtar. Sidang dipimpin Hakim Konstitusi Muhammad Alim. Agenda sidang pemeriksaan pendahuluan.
Sidang tidak dihadiri oleh Akil Mochtar. Akil diwakili kuasa hukumnya, Adardam Achyar. Adardam menjelaskan, uji materi diajukan karena pemohon merasa dirugikan hak konstitusinya. Akil menilai pasal-pasal di UU TPPU multitafsir.
Akil divonis penjara seumur hidup dalam kasus suap pemilu kepala daerah Lebak, Banten. Ia merasa dirugikan dengan berlakunya beberapa pasal di UU TPPU. Pasal-pasal yang digugat adalah Pasal 2 ayat 2, Pasal 3, 4, 5 ayat (1), Pasal 69, Pasal 76 ayat (1), Pasal 77, Pasal 78 ayat (1), dan Pasal 95 UU TPPU.
"Pemohon menggugat frasa 'patut diduga' yang termuat dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, 4 dan 5 ayat (2). Menurut kami kalau kita kembali pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) TPPU berkaitan dengan adanya tindak pidana asal, sehingga 'patut diduga' seakan dapat menyampingkan dapat ditafsirkan tidak mutlak adanya tindak pidana asal di dalam TPPU," ujar Adardam Achyar di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (29/8/2014).
Adardam menjelaskan, TPPU adalah tindak pidana lanjutan dari tindak pidana asal yang diatur di Pasal 2 ayat (1). Menurut Adardam, supaya ada kepastian hukum yang berkeadilan harus dikatakan seseorang nyata-nyata mengetahui adanya tindak pidana asal itu. Karena itu, Akil meminta frasa 'patut diduga' dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Akil juga mempersoalkan frasa 'tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya' di Pasal 69. Adardam mengatakan, kalau tidak wajib dibuktikan tindak pidana asalnya bagaimana bisa dianggap itu hasil tindak pidana.
"Berdasarkan pengalaman klien kami sedemikian rupa telah diterapkan seakan-akan tidak ada kewajiban penyidik untuk membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asal, sehingga banyak harta kekayaan pemohon yang dinyatakan tidak ada kaitan dengan tindak pidana asal disita dan dalam putusan pengadilan tindak pidana korupsi dirampas untuk negara. Ini yang kami rasa tidak adil," papar dia.
Lalu Pasal 76 ayat (1), Akil menilai tidak ada kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut dalam kasus TPPU. Akil meminta MK memberikan tafsir konstitusi apakah penuntut dalam penanganan TPPU hanya pada kejaksaan atau termasuk juga penuntut umum di KPK.
Akil mengaku punya pengalaman buruk dalam penerapan Pasal 77 dan 78 UU TPPU. Kedua pasal ini membahas soal pembuktian harta kekayaan bukan berasal dari tindak pidana. Akil mengaku dirugikan karena penerapannya tidak terbatas.
"Jadi pemohon mempunyai pengalaman bahwa diharuskan membuktikan asal-usul seluruh kekayaan tanpa batas, dengan tindak pidana kekayaan yang didakwakan. Fakta persidangan, ahli KPK menyatakan dalam pelaksanakan Pasal 77-78 sudah menjadi yurisprudensi di dalam beberapa putusan Mahkamah Agung. Oleh karena itu tiada lain kami meminta uji materi ke MK memastikan apakah bertentangan dengan konstitusi atau tidak," ujar Adardam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DOR)