Jakarta: Wakil Sekretaris Jenderal Partai Hanura Tri Dianto menilai pihak yang menolak Undang-Undang (UU) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi mengadu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Cara itu dianggap lebih bermartabat.
"Sebaiknya yang menolak untuk mengajukan judicial review ke MK," kata Tri kepada wartawan, Selasa, 8 Oktober 2019.
Menurut Tri, MK merupakan saluran tepat bagi warga negara yang menolak suatu produk hukum. Sikap itu dinilai pula lebih elegan ketimbang mendesak Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Tri mengaku tidak sepakat jika Presiden Jokowi harus mengeluarkan Perppu berdasarkan desakan. Terlebih, semata hasil riset lembaga survei. Menurut dia, Perppu harus diputuskan berdasarkan aspek filosofis dan konsep yang matang.
"Presiden bisa keluarkan Perppu, tapi kan perlu persetujuan DPR. Kalau DPR tidak setuju, kan Perppu kandas," kata Tri.
Ia juga mengaku meragukan kualitas hasil riset Lembaga Survei Indonesia (LSI). LSI mempublikasi kalau 73,6 persen respondennya menginginkan Jokowi menerbitkan Perppu KPK.
Pasalnya, kata dia, hasil survei itu didapat dengan menggunakan wawancara lewat telepon. Kemudian, jenis responden pun tidak jelas sehingga rawan untuk menghasilkan survei berdasarkan kepentingan pribadi.
"Biasanya kalau survei LSI bukan pakai telepon, tapi turun ke lapangan. Tapi, ya, terserah LSI saja. Mungkin LSI termasuk pendukung Perppu. Dan boleh saja itu. Yang penting dijelaskan," ujarnya.
Jakarta: Wakil Sekretaris Jenderal Partai Hanura Tri Dianto menilai pihak yang menolak Undang-Undang (UU) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi mengadu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Cara itu dianggap lebih bermartabat.
"Sebaiknya yang menolak untuk mengajukan judicial review ke MK," kata Tri kepada wartawan, Selasa, 8 Oktober 2019.
Menurut Tri, MK merupakan saluran tepat bagi warga negara yang menolak suatu produk hukum. Sikap itu dinilai pula lebih elegan ketimbang mendesak Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Tri mengaku tidak sepakat jika Presiden Jokowi harus mengeluarkan Perppu berdasarkan desakan. Terlebih, semata hasil riset lembaga survei. Menurut dia, Perppu harus diputuskan berdasarkan aspek filosofis dan konsep yang matang.
"Presiden bisa keluarkan Perppu, tapi kan perlu persetujuan DPR. Kalau DPR tidak setuju, kan Perppu kandas," kata Tri.
Ia juga mengaku meragukan kualitas hasil riset Lembaga Survei Indonesia (LSI). LSI mempublikasi kalau 73,6 persen respondennya menginginkan Jokowi menerbitkan Perppu KPK.
Pasalnya, kata dia, hasil survei itu didapat dengan menggunakan wawancara lewat telepon. Kemudian, jenis responden pun tidak jelas sehingga rawan untuk menghasilkan survei berdasarkan kepentingan pribadi.
"Biasanya kalau survei LSI bukan pakai telepon, tapi turun ke lapangan. Tapi, ya, terserah LSI saja. Mungkin LSI termasuk pendukung Perppu. Dan boleh saja itu. Yang penting dijelaskan," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(BOW)