Jakarta: Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi Pasal 7 ayat (2) huruf i Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Gugatan diajukan mantan Bupati Ogan Ilir, Ahmad Wazir Noviandy, yang gagal mencalonkan diri karena masalah narkoba.
"Mahkamah berkesimpulan, pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum. Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Anwar Usman saat membacakan amar putusan di Ruang Sidang MK, Jakarta, Rabu, 18 Desember 2019.
Dalam pertimbangannya, hakim anggota Arief Hidayat mengatakan, pemilihan kepala daerah merupakan proses demokrasi yang memberikan ruang seluas-luasnya kepada setiap manusia untuk memenuhi hak konstitusinya.
Namun secara konstitusional, hak itu dapat dilakukan pembatasan yang ditetapkan UU untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan morel, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.
Arief menjelaskan kepala daerah juga dituntut memiliki standar moral yang tinggi. Tuntutan itu membuat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menetapkan sejumlah syarat kepada calon kepala daerah.
"Salah satunya tidak pernah melakukan perbuatan tercela dibuktikan surat catatan kepolisian. Adapun, termasuk perbuatan tercela di antaranya merupakan pemakai atau pengedar narkotika," tutur Arief.
Pada 2016, Wazir ditangkap Badan Narkotika Nasional (BNN) saat pesta narkoba bersama empat rekannya. Wazir kemudian divonis enam bulan rehabilitasi.
Setelah melalui proses rehabilitasi, ia berkeinginan kembali mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Namun, keinginannya terhalang dengan keberlakuan ketentuan a quo.
Jakarta: Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi Pasal 7 ayat (2) huruf i Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Gugatan diajukan mantan Bupati Ogan Ilir, Ahmad Wazir Noviandy, yang gagal mencalonkan diri karena masalah narkoba.
"Mahkamah berkesimpulan, pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum. Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Anwar Usman saat membacakan amar putusan di Ruang Sidang MK, Jakarta, Rabu, 18 Desember 2019.
Dalam pertimbangannya, hakim anggota Arief Hidayat mengatakan, pemilihan kepala daerah merupakan proses demokrasi yang memberikan ruang seluas-luasnya kepada setiap manusia untuk memenuhi hak konstitusinya.
Namun secara konstitusional, hak itu dapat dilakukan pembatasan yang ditetapkan UU untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan morel, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.
Arief menjelaskan kepala daerah juga dituntut memiliki standar moral yang tinggi. Tuntutan itu membuat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menetapkan sejumlah syarat kepada calon kepala daerah.
"Salah satunya tidak pernah melakukan perbuatan tercela dibuktikan surat catatan kepolisian. Adapun, termasuk perbuatan tercela di antaranya merupakan pemakai atau pengedar narkotika," tutur Arief.
Pada 2016, Wazir ditangkap Badan Narkotika Nasional (BNN) saat pesta narkoba bersama empat rekannya. Wazir kemudian divonis enam bulan rehabilitasi.
Setelah melalui proses rehabilitasi, ia berkeinginan kembali mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Namun, keinginannya terhalang dengan keberlakuan ketentuan
a quo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)