Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil sepuluh orang untuk diperiksa. Mereka dipanggil sebagai saksi kasus dugaan korupsi perizinan tambak, usaha, dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020.
"Semuanya dipanggil sebagai saksi untuk tersangka EP (mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo) dan SJT (Direktur PT Dua Putra Perkasa Suharjito)," kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Senin, 18 Januari 2021.
Kesepuluh orang itu, yakni Bupati Kaur Gusril Pausi; Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah; Dirkeu PT DPP M Zainul Fatih; kasir besar PT DPP Pratama Joko Santoso; pegawai PT DPP Betha Maya Febian; karyawan swasta Yunus; dan Kepala Kantor Bea Cukai Soekarno Hatta Finari Manan. Lembaga Antikorupsi juga memanggil dua karyawan swasta Jaya Marlian dan Sharidi Yanopi; serta petani atau tukang kebun Zulhijar. Gusril dan Rohidin sudah berada di markas KPK.
Sepuluh saksi itu diduga mengetahui ihwal rasuah yang dilakukan Edhy dan Suharjito. Keterangan mereka diharap bisa memperkuat bukti.
Edhy Prabowo ditetapkan sebagai tersangka bersama enam orang lainnya. Sebanyak enam tersangka diduga menerima suap. Mereka adalah Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Safri dan Andreau Pribadi Misanta, pengurus PT ACK Siswadi, istri Staf Menteri KP Ainul Faqih, Amiril Mukminin, serta Edhy Prabowo.
Baca: Selisik Dugaan Korupsi Ekspor Benur, KPK Ulik Permen KKP Nomor 12
Seorang tersangka diduga sebagai pemberi, yakni Direktur PT DPP Suharjito. Edhy diduga menerima Rp3,4 miliar dan US$100ribu dalam korupsi tersebut. Sebagian uang digunakan Edhy Prabowo untuk berbelanja bersama istri, Andreau, dan Safri ke Honolulu, Hawaii.
Diduga, ada monopoli yang dilakukan KKP dalam kasus ini. Sebab ekspor benih lobster hanya bisa dilakukan melalui PT ACK dengan biaya angkut Rp1.800 per ekor.
Penerima disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil sepuluh orang untuk diperiksa. Mereka dipanggil sebagai saksi kasus dugaan korupsi perizinan tambak, usaha, dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020.
"Semuanya dipanggil sebagai saksi untuk tersangka EP (mantan Menteri Kelautan dan Perikanan
Edhy Prabowo) dan SJT (Direktur PT Dua Putra Perkasa Suharjito)," kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Senin, 18 Januari 2021.
Kesepuluh orang itu, yakni Bupati Kaur Gusril Pausi; Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah; Dirkeu PT DPP M Zainul Fatih; kasir besar PT DPP Pratama Joko Santoso; pegawai PT DPP Betha Maya Febian; karyawan swasta Yunus; dan Kepala Kantor Bea Cukai Soekarno Hatta Finari Manan. Lembaga Antikorupsi juga memanggil dua karyawan swasta Jaya Marlian dan Sharidi Yanopi; serta petani atau tukang kebun Zulhijar. Gusril dan Rohidin sudah berada di markas
KPK.
Sepuluh saksi itu diduga mengetahui ihwal
rasuah yang dilakukan Edhy dan Suharjito. Keterangan mereka diharap bisa memperkuat bukti.
Edhy Prabowo ditetapkan sebagai tersangka bersama enam orang lainnya. Sebanyak enam tersangka diduga menerima suap. Mereka adalah Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Safri dan Andreau Pribadi Misanta, pengurus PT ACK Siswadi, istri Staf Menteri KP Ainul Faqih, Amiril Mukminin, serta Edhy Prabowo.
Baca:
Selisik Dugaan Korupsi Ekspor Benur, KPK Ulik Permen KKP Nomor 12
Seorang tersangka diduga sebagai pemberi, yakni Direktur PT DPP Suharjito. Edhy diduga menerima Rp3,4 miliar dan US$100ribu dalam korupsi tersebut. Sebagian uang digunakan Edhy Prabowo untuk berbelanja bersama istri, Andreau, dan Safri ke Honolulu, Hawaii.
Diduga, ada monopoli yang dilakukan KKP dalam kasus ini. Sebab ekspor benih lobster hanya bisa dilakukan melalui PT ACK dengan biaya angkut Rp1.800 per ekor.
Penerima disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)