Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan praktik dugaan suap pengurusan Dana Alokasi Khusus (DAK) terjadi sistemik. Sistem pengalokasian DAK selama ini dinilai tak transparan sehingga memunculkan celah untuk menyuap.
"Kejadian pengurusan DAK kalau dilihat dari proses penyidikan dan persidangan sepertinya ini sudah sistemik. Bahkan ada salah satu kepala daerah yang menyampaikan bahwa untuk mendapatkan uang harus dengan uang juga. Artinya, membeli uang dengan uang," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa, 17 November 2020.
Alexander mengatakan kepala daerah kerap berspekulasi dan melakukan lobi-lobi setiap tahun dalam pengalokasian DAK. Adapula pihak yang memanfaatkan itu untuk menjual informasi atau sebagai calo.
"Cara untuk mengurus DAK dengan menyuap ini yang tidak bisa dibenarkan. Ini kenapa bisa terjadi karena tidak ada transparansi dalam pengalokasian, sehingga daerah dibuat bertanya-tanya tahun ini dapat atau tidak," ucap Alexander.
Baca: Kepala BPPD Labuhanbatu Utara Tersangka Kasus Korupsi DAK
Alexander menyampaikan KPK tengah berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk mencegah rasuah ini. Komisi Antikorupsi mendorong pengalokasian DAK dibuat transparan sehingga menutup celah suap dan calo.
"Kalau dari awal sudah transparan kriteria yang berhak mendapatkan, tentu kepala daerah yang sudah tahu tidak dapat tak akan mengurusnya," ujar dia.
KPK sudah mengusut 12 tersangka terkait dugaan suap DAK APBN-P 2017 dan APBN 2018. Sebanyak enam tersangka sudah divonis bersalah di pengadilan.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK) menyatakan praktik dugaan
suap pengurusan Dana Alokasi Khusus (DAK) terjadi sistemik. Sistem pengalokasian DAK selama ini dinilai tak transparan sehingga memunculkan celah untuk menyuap.
"Kejadian pengurusan DAK kalau dilihat dari proses penyidikan dan persidangan sepertinya ini sudah sistemik. Bahkan ada salah satu kepala daerah yang menyampaikan bahwa untuk mendapatkan uang harus dengan uang juga. Artinya, membeli uang dengan uang," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa, 17 November 2020.
Alexander mengatakan kepala daerah kerap berspekulasi dan melakukan lobi-lobi setiap tahun dalam pengalokasian DAK. Adapula pihak yang memanfaatkan itu untuk menjual informasi atau sebagai calo.
"Cara untuk mengurus DAK dengan menyuap ini yang tidak bisa dibenarkan. Ini kenapa bisa terjadi karena tidak ada transparansi dalam pengalokasian, sehingga daerah dibuat bertanya-tanya tahun ini dapat atau tidak," ucap Alexander.
Baca: Kepala BPPD Labuhanbatu Utara Tersangka Kasus Korupsi DAK
Alexander menyampaikan KPK tengah berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk mencegah rasuah ini. Komisi Antikorupsi mendorong pengalokasian DAK dibuat transparan sehingga menutup celah suap dan calo.
"Kalau dari awal sudah transparan kriteria yang berhak mendapatkan, tentu kepala daerah yang sudah tahu tidak dapat tak akan mengurusnya," ujar dia.
KPK sudah mengusut 12 tersangka terkait dugaan suap DAK APBN-P 2017 dan APBN 2018. Sebanyak enam tersangka sudah divonis bersalah di pengadilan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)