medcom.id, Jakarta: Termohon Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam eksepsinya menyatakan pertama, objek permohonan praperadilan bukan kewenangan hakim; kedua, permohonan praperadilan prematur; dan ketiga, petitum permohonan praperadilan tidak jelas dan saling bertentangan satu dengan yang lainnya.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menimbang poin pertama bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh termohon dalam mengajukan eksepsi pada pokoknya adalah permohonan pemohon tidak termasuk objek praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 juncto Pasal 82 ayat 1 juncto Pasal 95 ayat 1 dan 2 KUHAP.
"Dan juga tidak termasuk dalam pengertian praperadilan sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 10 KUHAP. Permohonan pemohon melanggar asas legalitas dalam hukum acara pidana," kata Hakim tunggal yang memimpin sidang praperadilan Komjen Budi Gunawan, Sarpin Rizaldi, Senin (16/2/2015).
Dia melanjutkan, putusan-putusan pengadilan yang dijadikan dasar acuan dalam mengajukan permohonan ini tidak dapat dipandang sebagai yurisprudensi.
Menimbang bahwa Pasal 1 angka 10 KUHAP merumuskan pengertian praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Menimbang bahwa rumusan Pasal 77 KUHAP adalah Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan;
b) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan;
Menimbang bahwa dari rumusan pengertian Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 juntco Pasal 82 ayat 1 juncto Pasal 95 ayat 1 dan 2 KUHAP dapat diketahui dengan jelas bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka tidak termasuk objek praperadilan karena hal itu tidak diatur.
Menimbang bahwa demikian pula halnya dengan segala ketentuan peraturan perundang-undangan pidana khusus yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia juga tidak ditemukan aturan yang mengatur kalau pengujian tentang sah atau tidaknya penetapan tersangka menjadi objek praperadilan.
"Menimbang bahwa masalahnya sekarang adalah karena hukumnya tidak mengatur apakah hakim boleh menolak suatu perkara dengan alasan pertimbangan bahwa hukum tidak mengatur atau hukumnya tidak jelas atau hukumnya tidak ada," terang Sarpin.
Menimbang bahwa undang-undang tentang kekuasaan kehakiman melarang hakim menolak suatu perkara dengan alasan hukumnya tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya sebagaimana ketentuan Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang berbunyi "pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya."
Menimbang bahwa larangan menolak untuk memeriksa dan mengadili dan memutus perkara dibarengi dengan kewajiban bagi hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.
Dia melanjutkan, larangan bagi hakim menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara dengan dalih atau alasan bahwa hukumnya tidak ada tentunya melahirkan kewenangan yang diberikan kepada hakim untuk menetapkan hukum yang semula hukumnya tidak ada menjadi ada, atau yang semula hukumnya kurang jelas menjadi jelas.
"Menimbang bahwa kewenangan hakim untuk menetapkan hukumnya tidak ada menjadi ada dilakukan dengan menggunakan metoda penemuan hukum yang jika dikaji secara ilmiah atau keilmuan dan secara yuridis harus dapat dipertanggungjawabkan," pungkas Hakim Sarpin.
medcom.id, Jakarta: Termohon Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam eksepsinya menyatakan pertama, objek permohonan praperadilan bukan kewenangan hakim; kedua, permohonan praperadilan prematur; dan ketiga, petitum permohonan praperadilan tidak jelas dan saling bertentangan satu dengan yang lainnya.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menimbang poin pertama bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh termohon dalam mengajukan eksepsi pada pokoknya adalah permohonan pemohon tidak termasuk objek praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 juncto Pasal 82 ayat 1 juncto Pasal 95 ayat 1 dan 2 KUHAP.
"Dan juga tidak termasuk dalam pengertian praperadilan sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 10 KUHAP. Permohonan pemohon melanggar asas legalitas dalam hukum acara pidana," kata Hakim tunggal yang memimpin sidang praperadilan Komjen Budi Gunawan, Sarpin Rizaldi, Senin (16/2/2015).
Dia melanjutkan, putusan-putusan pengadilan yang dijadikan dasar acuan dalam mengajukan permohonan ini tidak dapat dipandang sebagai yurisprudensi.
Menimbang bahwa Pasal 1 angka 10 KUHAP merumuskan pengertian praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Menimbang bahwa rumusan Pasal 77 KUHAP adalah Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan;
b) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan;
Menimbang bahwa dari rumusan pengertian Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 juntco Pasal 82 ayat 1 juncto Pasal 95 ayat 1 dan 2 KUHAP dapat diketahui dengan jelas bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka tidak termasuk objek praperadilan karena hal itu tidak diatur.
Menimbang bahwa demikian pula halnya dengan segala ketentuan peraturan perundang-undangan pidana khusus yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia juga tidak ditemukan aturan yang mengatur kalau pengujian tentang sah atau tidaknya penetapan tersangka menjadi objek praperadilan.
"Menimbang bahwa masalahnya sekarang adalah karena hukumnya tidak mengatur apakah hakim boleh menolak suatu perkara dengan alasan pertimbangan bahwa hukum tidak mengatur atau hukumnya tidak jelas atau hukumnya tidak ada," terang Sarpin.
Menimbang bahwa undang-undang tentang kekuasaan kehakiman melarang hakim menolak suatu perkara dengan alasan hukumnya tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya sebagaimana ketentuan Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang berbunyi "pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya."
Menimbang bahwa larangan menolak untuk memeriksa dan mengadili dan memutus perkara dibarengi dengan kewajiban bagi hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.
Dia melanjutkan, larangan bagi hakim menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara dengan dalih atau alasan bahwa hukumnya tidak ada tentunya melahirkan kewenangan yang diberikan kepada hakim untuk menetapkan hukum yang semula hukumnya tidak ada menjadi ada, atau yang semula hukumnya kurang jelas menjadi jelas.
"Menimbang bahwa kewenangan hakim untuk menetapkan hukumnya tidak ada menjadi ada dilakukan dengan menggunakan metoda penemuan hukum yang jika dikaji secara ilmiah atau keilmuan dan secara yuridis harus dapat dipertanggungjawabkan," pungkas Hakim Sarpin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TRK)