medcom.id, Jakarta: Tokoh muda Nahdlatul Ulama Syafieq Alielhah menilai perlu ada pengkajian ulang dari penerbitan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Perppu Ormas ini dinilai bisa saja menyasar kelompok-kelompok tertentu.
Secara pribadi, Syafieq menilai langkah pemerintah menerbitkan Perppu belum dipikirkan secara matang.
"Saya pribadi ada catatan, jangan sampai Perppu ini ibaratnya menyasar kelompok-kelompok dan masyarakat yang tidak bersalah," kata Syafieq dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu, 23 Juli 2017.
Syafieq menilai, Perppu Ormas masih ada kelonggaran, seperti halnya Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Salah satunya soal pasal yang menyantumkan konteks pemidanaan.
Syafieq menganggap kebijakan tersebut tidak relevan untuk aktivitas politik. Ia menilai dalam sebuah pelanggaran politik tidak bisa dijerat dengan unsur pidana.
"Yang penting dia tidak diizinkan beraktivitas. Kalau ngotot beraktivitas dibubarkan, bukan dipidana," tegas Syafieq.
Tidak hanya itu, Syafieq juga menilai, argumen pemerintah soal penerbitan Perppu yang menilai adanya kegentingan yang mendesak juga terlalu berlebihan. Hal ini lah yang membuat banyak pihak menuding pemerintah otoriter.
"Ibaratnya, kami meminta sebuah pisau untuk menyelesaikan satu hal, tapi dikasih pisau bermata 12 yang bisa mengenai orang lain yang sebenarnya tidak ingin dikenakan," jelas Syafieq.
medcom.id, Jakarta: Tokoh muda Nahdlatul Ulama Syafieq Alielhah menilai perlu ada pengkajian ulang dari penerbitan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Perppu Ormas ini dinilai bisa saja menyasar kelompok-kelompok tertentu.
Secara pribadi, Syafieq menilai langkah pemerintah menerbitkan Perppu belum dipikirkan secara matang.
"Saya pribadi ada catatan, jangan sampai Perppu ini ibaratnya menyasar kelompok-kelompok dan masyarakat yang tidak bersalah," kata Syafieq dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu, 23 Juli 2017.
Syafieq menilai, Perppu Ormas masih ada kelonggaran, seperti halnya Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Salah satunya soal pasal yang menyantumkan konteks pemidanaan.
Syafieq menganggap kebijakan tersebut tidak relevan untuk aktivitas politik. Ia menilai dalam sebuah pelanggaran politik tidak bisa dijerat dengan unsur pidana.
"Yang penting dia tidak diizinkan beraktivitas. Kalau ngotot beraktivitas dibubarkan, bukan dipidana," tegas Syafieq.
Tidak hanya itu, Syafieq juga menilai, argumen pemerintah soal penerbitan Perppu yang menilai adanya kegentingan yang mendesak juga terlalu berlebihan. Hal ini lah yang membuat banyak pihak menuding pemerintah otoriter.
"Ibaratnya, kami meminta sebuah pisau untuk menyelesaikan satu hal, tapi dikasih pisau bermata 12 yang bisa mengenai orang lain yang sebenarnya tidak ingin dikenakan," jelas Syafieq.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEN)