medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan keseluruhan permohonan uji materi perkara Nomor 21/PUU-XIV/2016 yang dimohonkan mantan Ketua DPR Setya Novanto. Novanto mengajukan pengujian Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) dan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Novanto mengajukan pengujian Pasal 15 UU Tipikor karena Pasal 88 KUHP yang sebelumnya digugat hanya memuat definisi frasa pemufakatan jahat. Novanto menilai, perbaikan itu tak akan mengubah substansi karena makna pemufakatan jahat merujuk pada Pasal 88 KUHP.
Ketua Majelis Hakim Konsitusi Arief Hidayat menilai, frasa pemufakatan jahat dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 bertentangan dengan UUD 1945.
"Sepanjang tidak dimaknai pemufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindakan pidana," kata Arief di Mahkamah Konsitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (7/9/2016).
Arief juga menilai, frasa pemufakatan jahat dalam Pasal 15 UU Tipikor tak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selama dua orang atau lebih itu tak memiliki kualitas yang sama dalam bersepakat melakukan tindak pidana.
Arief juga memutus, frasa tindak pidana korupsi dalam Pasal 15 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Sepanjang tak dimaknai, tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14," kata dia.
Dalam putusan ini, ada tiga hakim, yakni I Dewa Gede Palguna, Manahan Sitompul, dan Suhartoyo, berpendapat berbeda. Gede Palguna berpendapat, status Novanto sebagai anggota DPR tak memiliki kedudukan hukum mengajukan permohonan. Gede Palguna tetap dengan pendapat yang diutarakan pada putusan uji materi yang dilakukan Novanto sebelumnya.
"Saya tetap berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima," tegas Gede Palguna.
Hakim Suhartoyo berpendapat, UU Tipikor bersifat spesial dari sisi materil tentang tindak pidana percobaan, pembantuan, dan pemufakatan jahat. Ia menilai, dengan beragamnya modus tindak pidana korupsi saat ini sangat wajar pemufakatan jahat dimasukkan sebagai bentuk perluasan pertanggungjawaban pidana.
Ia menimbang, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang luar biasa. Kata dia, dampak tindak pidana korupsi dapat menyengsarakan rakyat dan negara. Karena itu korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa.
"Sehingga sangat argumentatif dan konstitusional ketika niat jahat melakukan korupsi diberikan ancaman pidana yang sama dengan pelaku tindak pidana sebagaimnana yang diatur pada Pasal 15 UU Tipikor," kata dia.
Sedangkan Hakim Manahan Sitompul menilai, penafsiran atau pemaknaan terhadap suatu istilah yang pengertian dan unsur-unsurnya belum dinormakan secara tegas dan jelas dalam suatu UU bisa mengabaikan hak konstitusional warga negara.
"Berdasarkan petitum pemohon yang menyatakan mohon putusan seadil-adilnya maka frasa pemufakatan jahat dalam Pasal 15 UU Tipikor harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945," kata Manahan.
medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan keseluruhan permohonan uji materi perkara Nomor 21/PUU-XIV/2016 yang dimohonkan mantan Ketua DPR Setya Novanto. Novanto mengajukan pengujian Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) dan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Novanto mengajukan pengujian Pasal 15 UU Tipikor karena Pasal 88 KUHP yang sebelumnya digugat hanya memuat definisi frasa pemufakatan jahat. Novanto menilai, perbaikan itu tak akan mengubah substansi karena makna pemufakatan jahat merujuk pada Pasal 88 KUHP.
Ketua Majelis Hakim Konsitusi Arief Hidayat menilai, frasa pemufakatan jahat dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 bertentangan dengan UUD 1945.
"Sepanjang tidak dimaknai pemufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindakan pidana," kata Arief di Mahkamah Konsitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (7/9/2016).
Arief juga menilai, frasa pemufakatan jahat dalam Pasal 15 UU Tipikor tak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selama dua orang atau lebih itu tak memiliki kualitas yang sama dalam bersepakat melakukan tindak pidana.
Arief juga memutus, frasa tindak pidana korupsi dalam Pasal 15 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Sepanjang tak dimaknai, tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14," kata dia.
Dalam putusan ini, ada tiga hakim, yakni I Dewa Gede Palguna, Manahan Sitompul, dan Suhartoyo, berpendapat berbeda. Gede Palguna berpendapat, status Novanto sebagai anggota DPR tak memiliki kedudukan hukum mengajukan permohonan. Gede Palguna tetap dengan pendapat yang diutarakan pada putusan uji materi yang dilakukan Novanto sebelumnya.
"Saya tetap berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima," tegas Gede Palguna.
Hakim Suhartoyo berpendapat, UU Tipikor bersifat spesial dari sisi materil tentang tindak pidana percobaan, pembantuan, dan pemufakatan jahat. Ia menilai, dengan beragamnya modus tindak pidana korupsi saat ini sangat wajar pemufakatan jahat dimasukkan sebagai bentuk perluasan pertanggungjawaban pidana.
Ia menimbang, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang luar biasa. Kata dia, dampak tindak pidana korupsi dapat menyengsarakan rakyat dan negara. Karena itu korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa.
"Sehingga sangat argumentatif dan konstitusional ketika niat jahat melakukan korupsi diberikan ancaman pidana yang sama dengan pelaku tindak pidana sebagaimnana yang diatur pada Pasal 15 UU Tipikor," kata dia.
Sedangkan Hakim Manahan Sitompul menilai, penafsiran atau pemaknaan terhadap suatu istilah yang pengertian dan unsur-unsurnya belum dinormakan secara tegas dan jelas dalam suatu UU bisa mengabaikan hak konstitusional warga negara.
"Berdasarkan petitum pemohon yang menyatakan mohon putusan seadil-adilnya maka frasa pemufakatan jahat dalam Pasal 15 UU Tipikor harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945," kata Manahan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)