Mantan Deputi Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Eko Santoso Budianto (tengah). Foto: Antara/Widodo S Jusuf
Mantan Deputi Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Eko Santoso Budianto (tengah). Foto: Antara/Widodo S Jusuf

Eks Wakil Kepala BPPN Mengaku tak Setuju dengan Perjanjian MSAA

Faisal Abdalla • 02 Juli 2018 12:35
Jakarta: Mantan Wakil Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Eko Santoso Budianto mengetahui perjanjian Master of Settlement Acquisition Agreement (MSAA) dengan Bank Dagang Indonesia (BDNI). Namun, dia mengaku tak setuju dengan perjanjian tersebut. 
 
Hal itu disampaikan Eko saat bersaksi di persidangan perkara korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan terdakwa Syafruddin Asyrad Temenggung. Eko mengaku mengetahui perjanjian BPPN dengan Sjamsul Nursalim selaku obligor BLBI untuk memenuhi kewajiban dalam MSAA-BDNI yaitu pembayaran sebesar Rp28,4 triliun. 
 
"Saya tahu (perjanjian BPPN dengan Sjamsul), tetapi saya tidak terlibat," kata Eko di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 2 Juli 2018. 

Baca: Sjamsul Nursalim Belum Penuhi Seluruh Kewajiban
 
Di BPPN, Eko mengaku mengurusi manajemen aset, tapi tak banyak terlibat dalam pengelolaan aset kepemilikan bank. Namun, dia mengetahui BDNI telah dinyatakan bank beku operasi sejak berkarir di BPPN pada 1998-2000. 
 
"Pada waktu saya masuk (1998) ke BPPN, BDNI sudah ditentukan sebagai bank beku operasi," ujar dia. 
 
Meski mengetahui ihwal perjanjian BPPN dengan Sjamsul, Eko menegaskan tak setuju dengan hal tersebut. 
 
"Pada waktu itu posisi saya tidak setuju oleh Sjamsul Nursalim," tegas dia.
 
Baca: Iwan: BI Memperkirakan Aset BDNI Mampu Lunasi BLBI
 
Syafruddin Arsyad Temenggung sebelumnya didakwa merugikan negara hingga Rp4,58 triliun terkait SKL BLBI. Ia diduga telah menghapus piutang BDNI milik Sjamsul Nurslaim kepada petani tambak yang dijamin  PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira.
 
Syafruddin juga dinilai menyalahgunakan kewenangannya sebagai kepala BPPN. Saat itu, Syafruddin menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul, meskipun dia belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI terhadap petambak.
 
Dalam kasus ini, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan