Jakarta: Edi Darmawan Salihin dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh 38 mantan pegawainya. Ayah mendiang Wayan Mirna Salihin dituntut membayar uang pesangon sebesar Rp3,5 miliar.
Laporan terdaftar dalam laporan polisi nomor: LP/B/5743/IX/2023/SPKT/POLDA METRO JAYA, 26 September 2023 dengan pelapor atas nama Wartono. Ia mengaku mewakili rekan- rekannya yang bekerja puluhan tahun di PT Fajar Indah Cakra Cemerlang (FICC). Perusahaan itu bergerak di bidang jasa ekspedisi.
"Saya bekerja sudah 21 tahun, kerja sebagai kurir bagian lapangan. Awalnya perusahaan lumayan lancar, penggajian lancar sampai beberapa tahun, teman -teman kantor juga kekeluargaan," kata Wartono saat ditemui di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Selasa, 7 November 2023.
Kartino mengatakan semua berubah sejak kasus Kopi Sianida menimpa Mirna sebagai korban pada 2016. Ketika memasuki 2017, gaji karyawan PT FICC dengan direktur utama Edi Darmawan Salihin mulai tersendat.
"Saya juga sempat negor Pak Edi. 'Pak ini kalau cara penggajian begini, karyawan enggak bisa makan, ada yang nyicil motor ada yang rumah juga'. Pak Edi sendiri sempat bilang 'Entar 3 bulan kemudian akan lancar kembali'," ujar Wartono.
Namun, setelah tiga bulan berlalu gaji tetap tersendat sampai sekitar setahun. Dia mencatat delapan bulan penggajian tidak normal. Puncaknya, pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran pada 2018.
"Februari 21 (tahun 2018) kantor sudah tutup enggak ada kegiatan," ungkapnya.
Sejak saat itu, Wartono yang bekerja sebagai kurir bersama karyawan lainnya belum mendapat iktikad baik dari pihak perusahaan. Sebab, perusahaan tutup tiba-tiba tanpa ada kejelasan nasib dan hak untuk para karyawan.
"Misalnya ayo kita kekeluargaan, 'aku punya segini kamu bagi-bagi. 'Aku terima, enggak harus kita menuntut Rp3,5 M, yang penting ada inisiatif baik dari bos gitu, tapi sampai saat ini enggak ada," tuturnya.
Wartono dan rekan-rekannya yang juga menjadi korban PHK menjalani pemeriksaan sebagai pelapor di Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya. Pemeriksaan didampingi kuasa hukumnya, Manganju Simanulang.
Manganju Simanulang menjelaskan alasan kliennya melayangkan laporan pidana. Dia menyebut, segala upaya melalui mekanisme perdata peradilan industrial telah ditempuh, namun tidak ada respons dari perusahaan. Terlebih, pada 2018 Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat telah memutuskan agar pihak PT FICC membayar Rp3,5 miliar kepada 38 karyawan.
"Jadi kita buatkan lah laporan pidana, melaporkan para direksi. Sebagaimana kita ketahui perusahaan ini punya empat pemegang saham. Jadi kita laporkan semua. Komisarisnya kita laporkan, direktur utama kita laporkan, direktur yang lain juga kita laporkan," beber dia.
Adapun keempat direksi yang dilaporkan yakni Edi Darmawan Salihin selaku Direktur Utama, lalu MSS sebagai Komisaris, NKS selaku Direktur, dan FS selaku pimpinan perusahaan. Para terlapor dipersangkakan Pasal 185 jo Pasal 156 ada ayat 1,2,3, dan 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
"Ancaman hukumannya minimal 1 tahun maksimal 4 tahun. Nah itu yang kita kejar," tutur Manganju.
Jakarta: Edi Darmawan Salihin dilaporkan ke
Polda Metro Jaya oleh 38 mantan pegawainya. Ayah mendiang Wayan Mirna Salihin dituntut membayar uang pesangon sebesar Rp3,5 miliar.
Laporan terdaftar dalam laporan polisi nomor: LP/B/5743/IX/2023/SPKT/POLDA METRO JAYA, 26 September 2023 dengan pelapor atas nama Wartono. Ia mengaku mewakili rekan- rekannya yang bekerja puluhan tahun di PT Fajar Indah Cakra Cemerlang (FICC). Perusahaan itu bergerak di bidang jasa ekspedisi.
"Saya bekerja sudah 21 tahun, kerja sebagai kurir bagian lapangan. Awalnya perusahaan lumayan lancar, penggajian lancar sampai beberapa tahun, teman -teman kantor juga kekeluargaan," kata Wartono saat ditemui di
Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Selasa, 7 November 2023.
Kartino mengatakan semua berubah sejak kasus Kopi Sianida menimpa Mirna sebagai korban pada 2016. Ketika memasuki 2017, gaji karyawan PT FICC dengan direktur utama Edi Darmawan Salihin mulai tersendat.
"Saya juga sempat
negor Pak Edi. 'Pak ini kalau cara penggajian begini, karyawan enggak bisa makan, ada yang nyicil motor ada yang rumah juga'. Pak Edi sendiri sempat bilang 'Entar 3 bulan kemudian akan lancar kembali'," ujar Wartono.
Namun, setelah tiga bulan berlalu gaji tetap tersendat sampai sekitar setahun. Dia mencatat delapan bulan penggajian tidak normal. Puncaknya, pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran pada 2018.
"Februari 21 (tahun 2018) kantor sudah tutup enggak ada kegiatan," ungkapnya.
Sejak saat itu, Wartono yang bekerja sebagai kurir bersama karyawan lainnya belum mendapat iktikad baik dari pihak perusahaan. Sebab, perusahaan tutup tiba-tiba tanpa ada kejelasan nasib dan hak untuk para karyawan.
"Misalnya ayo kita kekeluargaan, 'aku punya segini kamu bagi-bagi. 'Aku terima, enggak harus kita menuntut Rp3,5 M, yang penting ada inisiatif baik dari bos gitu, tapi sampai saat ini enggak ada," tuturnya.
Wartono dan rekan-rekannya yang juga menjadi korban PHK menjalani pemeriksaan sebagai pelapor di Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus)
Polda Metro Jaya. Pemeriksaan didampingi kuasa hukumnya, Manganju Simanulang.
Manganju Simanulang menjelaskan alasan kliennya melayangkan laporan pidana. Dia menyebut, segala upaya melalui mekanisme perdata peradilan industrial telah ditempuh, namun tidak ada respons dari perusahaan. Terlebih, pada 2018 Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat telah memutuskan agar pihak PT FICC membayar Rp3,5 miliar kepada 38 karyawan.
"Jadi kita buatkan lah laporan pidana, melaporkan para direksi. Sebagaimana kita ketahui perusahaan ini punya empat pemegang saham. Jadi kita laporkan semua. Komisarisnya kita laporkan, direktur utama kita laporkan, direktur yang lain juga kita laporkan," beber dia.
Adapun keempat direksi yang dilaporkan yakni Edi Darmawan Salihin selaku Direktur Utama, lalu MSS sebagai Komisaris, NKS selaku Direktur, dan FS selaku pimpinan perusahaan. Para terlapor dipersangkakan Pasal 185 jo Pasal 156 ada ayat 1,2,3, dan 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
"Ancaman hukumannya minimal 1 tahun maksimal 4 tahun. Nah itu yang kita kejar," tutur Manganju.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)