Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami penggunaan uang suap yang diterima oleh Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau M Syahrir. Informasi tersebut didalami dengan memeriksa tiga saksi.
"Para saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan dugaan penggunaan uang yang diterima tersangka MS (M Syahrir) dari pengurusan HGU (hak guna usaha)," kata juru bicara bidang penindakan KPK Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Rabu, 8 Februari 2023.
Tiga saksi itu yakni karyawan BUMN Issanova Winny Damora dan dua wiraswasta Nicky Adliperkasa serta Andrising Husin. Ali enggan memerinci lebih lanjut pertanyaan penyidik kepada ketiga saksi itu.
Keterangan ketiganya sudah dicatat dalam berita acara pemeriksaan. KPK meyakini informasi yang didapat menguatkan tudingan penyidik kepada tersangka dalam dugaan suap pengurusan HGU di Kanwil BPN Riau.
Kasus ini bermula ketika pemegang saham PT Adimulia Agrolestari Frank Wijaya meminta General Manager PT Adimulia Agrolestari Sudarso untuk mengurus perpanjangan HGU perusahaannya yang akan berakhir pada 2024. Sudarso langsung menghubungi Syahrir untuk mempercepat proses pengurusan.
Syahrir meminta Rp3,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura untuk mempercepat pengurusan HGU. Permintaan itu berlangsung di rumah dinas Syahrir.
Sudarso langsung melaporkan permintaan itu kepada Frank dan langsung disetujui. Frank langsung menyiapkan SGD120 ribu untuk menyanggupi mahar yang diminta Syahrir.
Penyerahan uang terjadi di rumah dinas Syahrir sekitar September 2021. Syahrir melarang Sudarso membawa alat komunikasi saat penyerahan duit suap berlangsung.
Setelah perpanjangan didapat, Frank meminta Sudarso mengajukan surat permohonan kemitraan di Kampar kepada Bupati Kuantan Singingi (Kuansing) saat itu, Andi Putra. Andi tidak keberatan dengan kemitraan itu.
Dalam kasus ini, Frank bersama Sudarso diduga melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara M. Syahrir selaku penerima diduga melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK) mendalami penggunaan uang suap yang diterima oleh Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Badan Pertanahan Nasional (
BPN) Riau M Syahrir. Informasi tersebut didalami dengan memeriksa tiga saksi.
"Para saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan
dugaan penggunaan uang yang diterima tersangka MS (M Syahrir) dari pengurusan HGU (hak guna usaha)," kata juru bicara bidang penindakan KPK Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Rabu, 8 Februari 2023.
Tiga saksi itu yakni karyawan BUMN Issanova Winny Damora dan dua wiraswasta Nicky Adliperkasa serta Andrising Husin. Ali enggan memerinci lebih lanjut pertanyaan penyidik kepada ketiga saksi itu.
Keterangan ketiganya sudah dicatat dalam berita acara pemeriksaan. KPK meyakini informasi yang didapat menguatkan tudingan penyidik kepada tersangka dalam dugaan suap pengurusan HGU di Kanwil BPN Riau.
Kasus ini bermula ketika pemegang saham PT Adimulia Agrolestari Frank Wijaya meminta General Manager PT Adimulia Agrolestari Sudarso untuk mengurus perpanjangan HGU perusahaannya yang akan berakhir pada 2024. Sudarso langsung menghubungi Syahrir untuk mempercepat proses pengurusan.
Syahrir meminta Rp3,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura untuk mempercepat pengurusan HGU. Permintaan itu berlangsung di rumah dinas Syahrir.
Sudarso langsung melaporkan permintaan itu kepada Frank dan langsung disetujui. Frank langsung menyiapkan SGD120 ribu untuk menyanggupi mahar yang diminta Syahrir.
Penyerahan uang terjadi di rumah dinas Syahrir sekitar September 2021. Syahrir melarang Sudarso membawa alat komunikasi saat penyerahan duit
suap berlangsung.
Setelah perpanjangan didapat, Frank meminta Sudarso mengajukan surat permohonan kemitraan di Kampar kepada Bupati Kuantan Singingi (Kuansing) saat itu, Andi Putra. Andi tidak keberatan dengan kemitraan itu.
Dalam kasus ini, Frank bersama Sudarso diduga melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara M. Syahrir selaku penerima diduga melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)