medcom.id, Jakarta: Putusan praperadilan menyatakan bahwa penetapan Setya Novanto sebagai tersangka tidak sesuai prosedur. Putusan tersebut dianggap tidak serta merta menghilangkan perbuatan pidana yang disangkakan.
"Esensi praperadilan hanya menentukan keabsahan penetapan tersangka, dan tidak menghilangkan perbuatan pidananya itu sendiri," kata Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Abdullah melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Selasa 3 Oktober 2017.
Dalam Pasal 2 Ayat (3) Perma Nomor 4 Tahun 2016 menegaskan bahwa putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi.
"Kalau Penyidik telah memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara, yang bersangkutan bisa dijadikan tersangka lagi," terangnya.
Baca: Novanto Menang Praperadilan
Terkait dengan putusan praperadilan Setya Novanto, Abdullah mengatakan bahwa MA menghormati apa yang telah diputuskan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bagaimanapun putusan hakim atau majelis hakim menjadi tanggung jawab mutlak yang bersangkutan. Dan tidak ada hubungan dengan ketua pengadilan yang bersangkutan, atau ketua pengadilan tingkat banding, maupun pimpinan MA.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar pada tanggal 29 September 2017 yang mengabulkan gugatan praperadilan Setya Novanto. Sehingga, menyatakan bahwa penetapan Ketua DPR itu sebagai tersangka tidak sesuai dengan prosedur.
Hakim Cepi berkesimpulan bahwa penetapan tersangka oleh KPK tidak berdasarkan prosedur dan tata cara Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KUHAP, dan SOP KPK. Namun, KPK mempertimbangkan untuk mengeluarkan lagi surat perintah penyidikan (sprindik) untuk Setya Novanto.
medcom.id, Jakarta: Putusan praperadilan menyatakan bahwa penetapan Setya Novanto sebagai tersangka tidak sesuai prosedur. Putusan tersebut dianggap tidak serta merta menghilangkan perbuatan pidana yang disangkakan.
"Esensi praperadilan hanya menentukan keabsahan penetapan tersangka, dan tidak menghilangkan perbuatan pidananya itu sendiri," kata Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Abdullah melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Selasa 3 Oktober 2017.
Dalam Pasal 2 Ayat (3) Perma Nomor 4 Tahun 2016 menegaskan bahwa putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi.
"Kalau Penyidik telah memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara, yang bersangkutan bisa dijadikan tersangka lagi," terangnya.
Baca: Novanto Menang Praperadilan
Terkait dengan putusan praperadilan Setya Novanto, Abdullah mengatakan bahwa MA menghormati apa yang telah diputuskan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bagaimanapun putusan hakim atau majelis hakim menjadi tanggung jawab mutlak yang bersangkutan. Dan tidak ada hubungan dengan ketua pengadilan yang bersangkutan, atau ketua pengadilan tingkat banding, maupun pimpinan MA.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar pada tanggal 29 September 2017 yang mengabulkan gugatan praperadilan Setya Novanto. Sehingga, menyatakan bahwa penetapan Ketua DPR itu sebagai tersangka tidak sesuai dengan prosedur.
Hakim Cepi berkesimpulan bahwa penetapan tersangka oleh KPK tidak berdasarkan prosedur dan tata cara Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KUHAP, dan SOP KPK. Namun, KPK mempertimbangkan untuk mengeluarkan lagi surat perintah penyidikan (sprindik) untuk Setya Novanto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(YDH)