medcom.id, Jakarta: Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan gugatan uji materi (judicial review) atas Perppu Nomor 2/2017 tentang Perubahan atas UU Nomor 17/2003 tentang Organisasi Kemasyarakatan ke Mahkamah Konstitusi menandakan pemerintah tidak diktator. Pemerintah pun menyatakan siap menghadapi gugatan.
Permohonan uji materi terhadap perppu diajukan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI jadi ormas pertama yang dicabut surat keputusan (SK) badan hukum mereka oleh Kementerian Hukum dan HAM. "Itu seperti yang saya katakan dulu, proses demokrasinya di situ. Memutuskan, kemudian ada gugatan, ya, silakan," ujar Wiranto di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, kemarin.
Wiranto pernah mengatakan, apabila nantinya pemerintah memutuskan untuk membubarkan ormas yang dinilai anti-Pancasila dan anti-NKRI, ormas itu dipersilakan menempuh jalur pengadilan untuk membela diri.
"Itu sekarang terbukti. Ini kan bukan sewenang-wenang. Terbukti bahwa ini bukan sifat diktator, melainkan sangat demokratis demi keutuhan negara. Ini yang harus kita lakukan, proses berlangsung," tegasnya.
Pemerintah, imbuhnya, sudah siap menghadapi sidang MK, termasuk menerapkan sejumlah strategi. Namun, Wiranto enggan membeberkan apa saja skema hukum yang sudah disiapkan.
Dia menyampaikan hal itu seusai menggelar rapat koordiansi bidang polhukam yang dihadiri Mendagri Tjahjo Kumolo, Menpan-Rebiro Asman Abnur, Menkum dan HAM Yasonna H Laoly, Jaksa Agung HM Prasetyo, serta perwakilan Polri.
Atasi radikalisme
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai penerbitan Perppu Ormas secara substansial dapat menjadi perangkat hukum untuk menangani radikalisme, intoleransi, dan ekstremisme. Sejumlah kasus yang berkaitan dengan hal itu selama ini menjadi ancaman serius bagi HAM, kebinekaan, dan dasar negara Pancasila.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/nbw1nZRK" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
Menurut Ketua Komnas HAM Nur Kholis, Indonesia saat ini menghadapi tantangan sangat serius berkenaan dengan merebaknya intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme. Pihaknya menilai UU Ormas sejatinya cukup memadai untuk menjawab pelbagai tantangan itu.
"Hanya, selama ini (UU Ormas) belum dipergunakan dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah," kata dia.
Ia menegaskan hak yang paling terkena dampak dari penerbitan perppu ialah hak atas kebebasan berserikat (rights to freedom of association) yang notabene dijamin dalam konstitusi RI serta Kovenan Internasional. Ketentuan itu terkait dengan hak-hak sipil dan politik yang telah disahkan Indonesia melalui UU Nomor 12/2005.
Hak atas kebebasan berserikat tidak termasuk hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights) dan dapat dibatasi berdasarkan hukum. Hak tersebut diperlukan dalam masyarakat yang demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral publik, atau perlindungan terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain.
"Berdasarkan asas proporsionalitas untuk mencapai tujuan yang sah, dan asas nesesitas, yaitu kebutuhan yang mendesak. Kendati demikian, pembatasan itu tidak boleh membahayakan kebebasan." (P-3)
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/5b2jL74b" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan gugatan uji materi (judicial review) atas Perppu Nomor 2/2017 tentang Perubahan atas UU Nomor 17/2003 tentang Organisasi Kemasyarakatan ke Mahkamah Konstitusi menandakan pemerintah tidak diktator. Pemerintah pun menyatakan siap menghadapi gugatan.
Permohonan uji materi terhadap perppu diajukan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI jadi ormas pertama yang dicabut surat keputusan (SK) badan hukum mereka oleh Kementerian Hukum dan HAM. "Itu seperti yang saya katakan dulu, proses demokrasinya di situ. Memutuskan, kemudian ada gugatan, ya, silakan," ujar Wiranto di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, kemarin.
Wiranto pernah mengatakan, apabila nantinya pemerintah memutuskan untuk membubarkan ormas yang dinilai anti-Pancasila dan anti-NKRI, ormas itu dipersilakan menempuh jalur pengadilan untuk membela diri.
"Itu sekarang terbukti. Ini kan bukan sewenang-wenang. Terbukti bahwa ini bukan sifat diktator, melainkan sangat demokratis demi keutuhan negara. Ini yang harus kita lakukan, proses berlangsung," tegasnya.
Pemerintah, imbuhnya, sudah siap menghadapi sidang MK, termasuk menerapkan sejumlah strategi. Namun, Wiranto enggan membeberkan apa saja skema hukum yang sudah disiapkan.
Dia menyampaikan hal itu seusai menggelar rapat koordiansi bidang polhukam yang dihadiri Mendagri Tjahjo Kumolo, Menpan-Rebiro Asman Abnur, Menkum dan HAM Yasonna H Laoly, Jaksa Agung HM Prasetyo, serta perwakilan Polri.
Atasi radikalisme
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai penerbitan Perppu Ormas secara substansial dapat menjadi perangkat hukum untuk menangani radikalisme, intoleransi, dan ekstremisme. Sejumlah kasus yang berkaitan dengan hal itu selama ini menjadi ancaman serius bagi HAM, kebinekaan, dan dasar negara Pancasila.
Menurut Ketua Komnas HAM Nur Kholis, Indonesia saat ini menghadapi tantangan sangat serius berkenaan dengan merebaknya intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme. Pihaknya menilai UU Ormas sejatinya cukup memadai untuk menjawab pelbagai tantangan itu.
"Hanya, selama ini (UU Ormas) belum dipergunakan dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah," kata dia.
Ia menegaskan hak yang paling terkena dampak dari penerbitan perppu ialah hak atas kebebasan berserikat (rights to freedom of association) yang notabene dijamin dalam konstitusi RI serta Kovenan Internasional. Ketentuan itu terkait dengan hak-hak sipil dan politik yang telah disahkan Indonesia melalui UU Nomor 12/2005.
Hak atas kebebasan berserikat tidak termasuk hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights) dan dapat dibatasi berdasarkan hukum. Hak tersebut diperlukan dalam masyarakat yang demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral publik, atau perlindungan terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain.
"Berdasarkan asas proporsionalitas untuk mencapai tujuan yang sah, dan asas nesesitas, yaitu kebutuhan yang mendesak. Kendati demikian, pembatasan itu tidak boleh membahayakan kebebasan." (P-3)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)