medcom.id, Jakarta: Ketua Komite III DPD Fahira Idris menilai kasus peredaran pil PCC (Paracetamol, Caffeine, Carisoprodol) merupakan kejahatan luar biasa terhadap anak. Karena itu, polisi tidak cukup hanya menjerat pelaku dengan Undang-Undang (UU) Kesehatan, tapi juga UU Perlindungan Anak.
"Apa yang mereka lakukan kepada anak-anak kita luar biasa biadab, mereka pantas diancam hukuman mati," kata Fahira, senator asal DKI Jakarta yang juga membidangi soal kesehatan dan perlindungan anak di Kompleks Parlemen, Jakarta 19 September 2017.
Dia menyampaikan, UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dijelaskan bahwa jika kekerasan tehadap anak menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun.
"Bukan hanya bisa menghilangkan nyawa, bagi yang selamat, pil ini berpotensi mengganggu jiwa dan mental. Opsi hukuman paling maksimal harus dijadikan dasar tuntutan bagi polisi dan jaksa agar tidak ada lagi yang berani-berani menjadikan anak sebagai target tindak kejahatan," tandas Fahira.
Dia meminta polisi menguak motif para pengedar. Menurut Fahira, patut diduga jaringan pengedar pil PCC punya motif selain ekonomi karena mayoritas penyebaran pil ini menyasar anak-anak.
Dugaan motif lebih besar selain ekonomi menguat setelah pada 18 September, penyidik Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri menyita bahan pil PCC di salah satu pabrik di Cimahi, Jawa Barat. Kalau hanya motif ekonomi, kata Fahira, pelaku tidak akan mengincar anak-anak sebagai pengguna.
"Makanya harus diungkap tuntas apa motif mereka. Jangan-jangan memang sengaja untuk menganggu kondusifitas sebuah daerah atau malah motifnya lebih besar yaitu menghancurkan generasi muda kita,” pungkas Fahira.
medcom.id, Jakarta: Ketua Komite III DPD Fahira Idris menilai kasus peredaran pil PCC (Paracetamol, Caffeine, Carisoprodol) merupakan kejahatan luar biasa terhadap anak. Karena itu, polisi tidak cukup hanya menjerat pelaku dengan Undang-Undang (UU) Kesehatan, tapi juga UU Perlindungan Anak.
"Apa yang mereka lakukan kepada anak-anak kita luar biasa biadab, mereka pantas diancam hukuman mati," kata Fahira, senator asal DKI Jakarta yang juga membidangi soal kesehatan dan perlindungan anak di Kompleks Parlemen, Jakarta 19 September 2017.
Dia menyampaikan, UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dijelaskan bahwa jika kekerasan tehadap anak menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun.
"Bukan hanya bisa menghilangkan nyawa, bagi yang selamat, pil ini berpotensi mengganggu jiwa dan mental. Opsi hukuman paling maksimal harus dijadikan dasar tuntutan bagi polisi dan jaksa agar tidak ada lagi yang berani-berani menjadikan anak sebagai target tindak kejahatan," tandas Fahira.
Dia meminta polisi menguak motif para pengedar. Menurut Fahira, patut diduga jaringan pengedar pil PCC punya motif selain ekonomi karena mayoritas penyebaran pil ini menyasar anak-anak.
Dugaan motif lebih besar selain ekonomi menguat setelah pada 18 September, penyidik Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri menyita bahan pil PCC di salah satu pabrik di Cimahi, Jawa Barat. Kalau hanya motif ekonomi, kata Fahira, pelaku tidak akan mengincar anak-anak sebagai pengguna.
"Makanya harus diungkap tuntas apa motif mereka. Jangan-jangan memang sengaja untuk menganggu kondusifitas sebuah daerah atau malah motifnya lebih besar yaitu menghancurkan generasi muda kita,” pungkas Fahira.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TRK)