Suap dalam Pelayanan Publik Masih Menjadi Masalah Besar
Candra Yuri Nuralam • 11 April 2023 22:17
Jakarta: Studi buatan Transparency International Indonesia menyebut suap dalam pelayanan publik di Indonesia masih menjadi masalah besar. Sebanyak 90 persen masyarakat mengaku resah dengan kebiasaan buruk itu.
"Sebanyak 90 persen masyarakat merasa bahwa korupsi di tubuh pemerintah merupakan masalah besar," kata Program Manager Transparency International Indonesia Alvin Nicola melalui keterangan tertulis, Selasa, 11 April 2023.
Alvin mengatakan studi pihaknya menjelaskan bahwa pemerintah butuh kerja keras untuk mewujudkan pelayanan publik yang akuntabel. Sebab, praktik suap terjadi di banyak kementerian dan lembaga.
Dalam studi tersebut, sebanyak 30 persen masyarakat Indonesia mengaku pernah memberikan suap saat mengakses layanan publik. Alvin menyebut pelayanan di kepolisian paling banyak terjadi praktik suap dengan angka 41 persen.
"Angka kasus suap ini jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata Asia yang hanya sebesar 23 persen," ucap Alvin.
Alvin menyebut alasan masyarakat memberikan suap beragam. Sebanyak 33 persen masyarakat salam studi tersebut mengaku memberikan uang panas itu sebagai tanda terima kasih.
"Kita kan dikenal ramah, untuk menyuap saja disebut sebagai tanda terima kasih. Lalu, ada juga yang memang karena diminta oleh petugasnya alias membayar biaya yang tidak resmi (25 persen) atau karena ditawari agar prosesnya jauh lebih cepat (21 persen)," terang Alvin.
Dewan Penasehat HIPPINDO Tutum Rahanta menyebut kebiasaan pemberian suap ini dikarenakan banyak pelaku usaha yang menginginkan akses cepat untuk memproses perizinan. Saat ini, lanjutnya, praktik kotor itu bahkan sudah dinilai lumrah.
"Pelaku usaha memperhitungkan untuk efesiensi. Efesiensi itu salah satunya waktu. Semuanya kalau selama bisa dibeli dengan uang, apakah itu tidak korup ataupun korup, pasti akan dilakukan," ujar Tutum.
Dia juga menyebut suap terjadi karena adanya peluang, kurangnya integritas aparatur sipil negara (ASN), dan buruknya sistem yang ada. Panjangnya proses birokrasi juga membuat pengusaha mencari jalan pintas untuk mempercepat kebutuhannya.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Nirwala Dwi Haryanto mengamini masalah suap ini meresahkan masyarakat. Hingga kini, pihaknya masih mencoba menyelesaikan kebiasaan kotor tersebut dengan reformasi birokrasi.
"Kita bicara tentang reformasi untuk melawan korupsi. Sejalan dengan yang diperintahkan oleh Pak Presiden (Joko Widodo), bahwa yang namanya reformasi birokrasi intinya adalah melayani rakyat dengan lebih baik. Artinya melayani rakyat harus lebih efektif dan akuntabel, karena bicara demokrasi," tutur Nirwala.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Jakarta: Studi buatan Transparency International Indonesia menyebut suap dalam pelayanan publik di Indonesia masih menjadi masalah besar. Sebanyak 90 persen masyarakat mengaku resah dengan kebiasaan buruk itu.
"Sebanyak 90 persen masyarakat merasa bahwa korupsi di tubuh pemerintah merupakan masalah besar," kata Program Manager Transparency International Indonesia Alvin Nicola melalui keterangan tertulis, Selasa, 11 April 2023.
Alvin mengatakan studi pihaknya menjelaskan bahwa pemerintah butuh kerja keras untuk mewujudkan pelayanan publik yang akuntabel. Sebab, praktik suap terjadi di banyak kementerian dan lembaga.
Dalam studi tersebut, sebanyak 30 persen masyarakat Indonesia mengaku pernah memberikan suap saat mengakses layanan publik. Alvin menyebut pelayanan di kepolisian paling banyak terjadi praktik suap dengan angka 41 persen.
"Angka kasus suap ini jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata Asia yang hanya sebesar 23 persen," ucap Alvin.
Alvin menyebut alasan masyarakat memberikan suap beragam. Sebanyak 33 persen masyarakat salam studi tersebut mengaku memberikan uang panas itu sebagai tanda terima kasih.
"Kita kan dikenal ramah, untuk menyuap saja disebut sebagai tanda terima kasih. Lalu, ada juga yang memang karena diminta oleh petugasnya alias membayar biaya yang tidak resmi (25 persen) atau karena ditawari agar prosesnya jauh lebih cepat (21 persen)," terang Alvin.
Dewan Penasehat HIPPINDO Tutum Rahanta menyebut kebiasaan pemberian suap ini dikarenakan banyak pelaku usaha yang menginginkan akses cepat untuk memproses perizinan. Saat ini, lanjutnya, praktik kotor itu bahkan sudah dinilai lumrah.
"Pelaku usaha memperhitungkan untuk efesiensi. Efesiensi itu salah satunya waktu. Semuanya kalau selama bisa dibeli dengan uang, apakah itu tidak korup ataupun korup, pasti akan dilakukan," ujar Tutum.
Dia juga menyebut suap terjadi karena adanya peluang, kurangnya integritas aparatur sipil negara (ASN), dan buruknya sistem yang ada. Panjangnya proses birokrasi juga membuat pengusaha mencari jalan pintas untuk mempercepat kebutuhannya.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Nirwala Dwi Haryanto mengamini masalah suap ini meresahkan masyarakat. Hingga kini, pihaknya masih mencoba menyelesaikan kebiasaan kotor tersebut dengan reformasi birokrasi.
"Kita bicara tentang reformasi untuk melawan korupsi. Sejalan dengan yang diperintahkan oleh Pak Presiden (Joko Widodo), bahwa yang namanya reformasi birokrasi intinya adalah melayani rakyat dengan lebih baik. Artinya melayani rakyat harus lebih efektif dan akuntabel, karena bicara demokrasi," tutur Nirwala.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)