Jakarta: Towilun, petambak udang, merasa diperas oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD). Perjanjian kerja sama kredit dengan PT DCD sebesar Rp135 juta untuk usaha jual udang di Lampung disebut tak pernah ada transparansi.
"Perjanjian kerja sama antara saya dan Dipasena sudah enggak baik lagi. Kami jadi sapi perah atau bebek petelur," kata Towilun saat bersaksi untuk terdakwa kasus dugaan korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Syafruddin Arsyad Tumenggung, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Kamis, 26 Juli 2018.
Towilun masuk ke PT DCD pada Februari 1995. Pada Juni di tahun yang sama, Towilun ditempatkan di tambak. Pada saat itu ia diminta menandatangani perjanjian kerja sama kredit dengan total pinjaman sebanyak Rp135 juta.
"Yang disampaikan orang PT DCD, saya akad Rp135 juta. Sebanyak Rp90 juta untuk investasi perlengkapan budi daya, sedangkan yang Rp45 juta buat modal kerja pakan telur," bebernya.
Setelah akad, Towilun mendapat dua petak tambak yang dilengkapi kincir dan perlengkapan budi daya, termasuk benur, pakan, serta obat-obatan. Dia mengoperasionalkan tambak tersebut dan tinggal di bangunan berdinding asbes berukuran 5x7 meter.
Selama bekerja, dia terus mempertanyakan isi perjanjian kerja sama dengan DCD. Sebab, di awal penandatanganan perjanjian, Towilun tak pernah mendapat kejelasan soal pinjamannya.
"Kami tanda tangan perjanjian kerja sama yang kami enggak tahu karena enggak boleh baca. Isi perjanjian enggak dijelaskan. Tapi waktu training, kalau petambak kerja serius enam tahun, utang akan lunas dan tambak jadi hak milik," jelas dia.
Apalagi selama bekerja di tambak, Towilun tak pernah mendapat upah dari perusahaan. Sementara, hasil panen udang selalu disetor ke perusahaan.
Baca: Saksi Sebut Audit BPK pada 2006 tak Temukan Utang Petambak
Towilun kerap diintimidasi bila menjual hasil tambak di luar tempat yang telah ditentukan DCD. "Kalau ada petambak yang jual di luar pasti akan dipenjara," keluhnya.
Akhirnya pada 2011, Towilun memutus kerja sama dengan DCD. Menurutnya, petani tambak tak punya utang namun acap dituduh punya utang terhadap perusahaan tersebut.
Hakim ketua Yanto kemudian memotong penjelasan Towilun dan menanyakan, "apa sekarang masih ada penagihan?" kata Yanto.
"Sudah tidak," jawab Towilun.
Syafruddin Arsyad Tumenggung didakwa merugikan negara hingga Rp4,58 triliun terkait SKL BLBI. Ia diduga telah menghapus piutang BDNI milik Sjamsul Nurslaim kepada petani tambak.
Syafruddin juga dinilai menyalahgunakan wewenang sebagai kepala BPPN. Saat itu, Syafruddin menerbitkan surat PKPS kepada Sjamsul, meskipun dia belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI terhadap petambak.
Dalam kasus ini, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Jakarta: Towilun, petambak udang, merasa diperas oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD). Perjanjian kerja sama kredit dengan PT DCD sebesar Rp135 juta untuk usaha jual udang di Lampung disebut tak pernah ada transparansi.
"Perjanjian kerja sama antara saya dan Dipasena sudah enggak baik lagi. Kami jadi sapi perah atau bebek petelur," kata Towilun saat bersaksi untuk terdakwa kasus dugaan korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Syafruddin Arsyad Tumenggung, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Kamis, 26 Juli 2018.
Towilun masuk ke PT DCD pada Februari 1995. Pada Juni di tahun yang sama, Towilun ditempatkan di tambak. Pada saat itu ia diminta menandatangani perjanjian kerja sama kredit dengan total pinjaman sebanyak Rp135 juta.
"Yang disampaikan orang PT DCD, saya akad Rp135 juta. Sebanyak Rp90 juta untuk investasi perlengkapan budi daya, sedangkan yang Rp45 juta buat modal kerja pakan telur," bebernya.
Setelah akad, Towilun mendapat dua petak tambak yang dilengkapi kincir dan perlengkapan budi daya, termasuk benur, pakan, serta obat-obatan. Dia mengoperasionalkan tambak tersebut dan tinggal di bangunan berdinding asbes berukuran 5x7 meter.
Selama bekerja, dia terus mempertanyakan isi perjanjian kerja sama dengan DCD. Sebab, di awal penandatanganan perjanjian, Towilun tak pernah mendapat kejelasan soal pinjamannya.
"Kami tanda tangan perjanjian kerja sama yang kami enggak tahu karena enggak boleh baca. Isi perjanjian enggak dijelaskan. Tapi waktu
training, kalau petambak kerja serius enam tahun, utang akan lunas dan tambak jadi hak milik," jelas dia.
Apalagi selama bekerja di tambak, Towilun tak pernah mendapat upah dari perusahaan. Sementara, hasil panen udang selalu disetor ke perusahaan.
Baca: Saksi Sebut Audit BPK pada 2006 tak Temukan Utang Petambak
Towilun kerap diintimidasi bila menjual hasil tambak di luar tempat yang telah ditentukan DCD. "Kalau ada petambak yang jual di luar pasti akan dipenjara," keluhnya.
Akhirnya pada 2011, Towilun memutus kerja sama dengan DCD. Menurutnya, petani tambak tak punya utang namun acap dituduh punya utang terhadap perusahaan tersebut.
Hakim ketua Yanto kemudian memotong penjelasan Towilun dan menanyakan, "apa sekarang masih ada penagihan?" kata Yanto.
"Sudah tidak," jawab Towilun.
Syafruddin Arsyad Tumenggung didakwa merugikan negara hingga Rp4,58 triliun terkait SKL BLBI. Ia diduga telah menghapus piutang BDNI milik Sjamsul Nurslaim kepada petani tambak.
Syafruddin juga dinilai menyalahgunakan wewenang sebagai kepala BPPN. Saat itu, Syafruddin menerbitkan surat PKPS kepada Sjamsul, meskipun dia belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI terhadap petambak.
Dalam kasus ini, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DMR)