Terdakwa kasus penerbitan SKL BLBI Syafruddin Arsyad Temenggung (kanan) memberikan keterangan saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (23/8). Foto: MI/Bary Fathahilah.
Terdakwa kasus penerbitan SKL BLBI Syafruddin Arsyad Temenggung (kanan) memberikan keterangan saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (23/8). Foto: MI/Bary Fathahilah.

Syafruddin Disebut Sepihak Hapus Utang Sjamsul Nursalim

Damar Iradat • 03 September 2018 15:16
Jakarta: Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung mengklaim penghapusan utang Sjamsul Nursalim selaku obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) disetujui oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Perbuatan itu dinilai dilakukan secara sepihak.
 
Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, Syafruddin melakukan penghapusbukuan secara sepihak terhadap utang Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Tahun 2004. Syafruddin mengklaim, keputusan penghapusbukuan itu atas persetujuan Presiden Megawati dalam rapat terbatas di Istana Negara pada 11 Februari 2004.
 
"Padahal, ratas tidak pernah ambil keputusan untuk penghapusbukuan. Terdakwa tahu dan sadar tidak ada persetujuan presiden, tapi terdakwa menyatakan penghapusan utang Rp2,8 triliun adalah atas persetujuan presiden," ujar Jaksa I Wayan Riana saat membaca surat tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 3 September 2018.

Jaksa menjelaskan, Syafruddin awalnya membuat ringkasan eksekutif untuk ditujukan kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), ihwal penghapusbukuan utang petambak yang unsustainable. Ketua KKSK saat itu, Dorodjatun Kuntjoro Jakti kemudian meminta agar usul itu disampaikan dalam rapat terbatas di Istana.
 
Ia kemudian menyampaikan usulan itu dalam ratas. Namun, dalam pemaparannya di ratas, Syafruddin sama sekali tidak menyampaikan soal misrepresentasi yang dilakukan oleh Sjamsul Nursalim.
 
(Baca juga: Kerugian Negara dalam Kasus BLBI Disebut karena Penjualan Aset di 2007)
 
Hingga rapat berakhir juga tidak ada satu pun keputusan tentang persetujuan mengenai penghapusbukuan utang petambak. Kendati demikian, keesokan harinya, Syafruddin kembali membuat ringkasan eksekutif tentang penghapusbukuan utang dan meminta persetujuan KKSK.
 
"Padahal terdakwa tahu bahwa Kepala BPPN tidak boleh melakukan penghapusbukuan utang yang masih ada misrepresentasi," kata Wayan.
 
Hal ini sempat diungkap oleh Menteri Keuangan periode 2001-2004 Boediono saat bersaksi untuk Syafruddin. Menurut dia, Syafruddin tidak pernah melaporkan perihal misrepresentasi yang dilakukan oleh Sjamsul Nursalim. Padahal, soal misrepresentasi ini harus dilaporkan ke pemerintah.
 
Boediono mengaku ikut hadir dalam ratas tersebut. Namun, menurut dia, saat itu misrepresentasi tidak sekalipun dibahas oleh Syafruddin.
 
"Sepanjang yang saya hadiri (rapat) saya tidak ingat ada pembicaraan mengenai masalah misrepresentasi," ungkap Boediono saat itu.
 
Dorodjatun Kuntjoro Jakti juga menyebut penghapusan utang BDNI merupakan usulan Syafruddin. Usulan tersebut akhirnya menjadi pijakan KKSK membuat surat keputusan (SK) tentang penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham BDNI. Menurut dia, BPPN lebih memahami seluk beluk soal obligor.
 
"Mereka paham betul masing-masing obligor, negosiasi dilakukan BPPN. Jadi, itulah tugas KKSK untuk memerhatikan itu, nanti kalau sudah dibicarakan bersama nanti itu akan jadi rekomendasi ke menteri yang diangkat," kata Dorodjatun beberapa waktu lalu.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan