medcom.id, Jakarta: Pembelian senjata oleh Badan Intelijen Negara (BIN) seizin Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Semua penjualan dan pembelian senjata memang harus berdasarkan izin Kementerian Pertahanan.
"Ini masalah pembelian, Kemenhan sudah tanda tangan pada Mei 2017. Ada tandatangan Wakabin (Wakil Kepala BIN Teddy Lhaksmana), ada 521 pucuk senjata, dan 712 ribu peluru," tegas Ryamizard di Kementerian Pertahanan, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa 26 September 2017.
Ryamizard memperlihatkan surat yang ditandatangani Teddy Lhaksmana. Surat itu menggunakan kop surat BIN. Lembaga di bawah pimpinan Jenderal Budi Gunawan itu membeli 521 pucuk senjata jenis SS2.V2 dari PT Pindad. Dalam surat tertulis pembelian senjata digunakan untuk mendukung kegiatan latihan taruna/taruni Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN).
Ryamizard menegaskan, tak ada pembelian 5.000 pucuk senjata seperti yang disampaikan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. "Jadi senjata itu tidak terlalu mematikan. Itu jelas pengajuannya," jelas Ryamizard.
Ryamizard mengaku telah berkomunikasi dengan pihak terkait agar kesalahpahaman tak terulang. Ia akan mencari waktu tepat bertemu Panglima Gatot.
Ryamizard menjelaskan, permohonan pembelian senjata tak melulu dikabulkan. BIN pernah mengajukan pembelian senjata dengan spesifikasi berbeda. Rencana pembelian ditolak karena dinilai tak sesuai.
Hak menolak dan memberikan izin pembelian senjata diatur dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Pada Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2012 berbunyi:
Pihak pemberi izin terhadap Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan.
Polemik dugaan pembelian senjata ilegal muncul ketika rekaman pernyataan Gatot dalam silaturahmi purnawirawan dan perwira aktif TNI tersebar. Gatot menyebut ada institusi tertentu membeli 5.000 pucuk senjata. Parahnya, pembelian mencatut nama Presiden Joko Widodo. Gatot mengklaim memiliki data akurat.
Menko Polhukam Wiranto menanggapi dan menyatakan senjata tersebut pesanan Badan Intelijen Negara (BIN). Ia menegaskan, pembelian hanya 500 pucuk senjata laras pendek. Senjata itu pun tak berstandar TNI seperti yang diperbincangkan.
Pernyataan Wiranto diperkuat PT Pindad (Persero). BUMN ini membenarkan adanya pembelian senjata. Namun, jumlahnya bukan 5.000, melainkan 500 pucuk senjata laras pendek. Ada rencana pembelian 5.000 pucuk senjata dari Polri. Tapi itu baru rencana. Belum ada kontrak pembelian.
medcom.id, Jakarta: Pembelian senjata oleh Badan Intelijen Negara (BIN) seizin Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Semua penjualan dan pembelian senjata memang harus berdasarkan izin Kementerian Pertahanan.
"Ini masalah pembelian, Kemenhan sudah tanda tangan pada Mei 2017. Ada tandatangan Wakabin (Wakil Kepala BIN Teddy Lhaksmana), ada 521 pucuk senjata, dan 712 ribu peluru," tegas Ryamizard di Kementerian Pertahanan, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa 26 September 2017.
Ryamizard memperlihatkan surat yang ditandatangani Teddy Lhaksmana. Surat itu menggunakan kop surat BIN. Lembaga di bawah pimpinan Jenderal Budi Gunawan itu membeli 521 pucuk senjata jenis SS2.V2 dari PT Pindad. Dalam surat tertulis pembelian senjata digunakan untuk mendukung kegiatan latihan taruna/taruni Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN).
Ryamizard menegaskan, tak ada pembelian 5.000 pucuk senjata seperti yang disampaikan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. "Jadi senjata itu tidak terlalu mematikan. Itu jelas pengajuannya," jelas Ryamizard.
Ryamizard mengaku telah berkomunikasi dengan pihak terkait agar kesalahpahaman tak terulang. Ia akan mencari waktu tepat bertemu Panglima Gatot.
Ryamizard menjelaskan, permohonan pembelian senjata tak melulu dikabulkan. BIN pernah mengajukan pembelian senjata dengan spesifikasi berbeda. Rencana pembelian ditolak karena dinilai tak sesuai.
Hak menolak dan memberikan izin pembelian senjata diatur dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Pada Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2012 berbunyi:
Pihak pemberi izin terhadap Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan.
Polemik dugaan pembelian senjata ilegal muncul ketika rekaman pernyataan Gatot dalam silaturahmi purnawirawan dan perwira aktif TNI tersebar. Gatot menyebut ada institusi tertentu membeli 5.000 pucuk senjata. Parahnya, pembelian mencatut nama Presiden Joko Widodo. Gatot mengklaim memiliki data akurat.
Menko Polhukam Wiranto menanggapi dan menyatakan senjata tersebut pesanan Badan Intelijen Negara (BIN). Ia menegaskan, pembelian hanya 500 pucuk senjata laras pendek. Senjata itu pun tak berstandar TNI seperti yang diperbincangkan.
Pernyataan Wiranto diperkuat PT Pindad (Persero). BUMN ini membenarkan adanya pembelian senjata. Namun, jumlahnya bukan 5.000, melainkan 500 pucuk senjata laras pendek. Ada rencana pembelian 5.000 pucuk senjata dari Polri. Tapi itu baru rencana. Belum ada kontrak pembelian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OJE)