Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menyelisik penikmat hasil dugaan suap dalam pengadaan barang dan jasa serta perizinan di Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Penajam Paser Utara (PPU). Penikmat uang suap bukan diduga bukan hanya Bupati nonaktif PPU Abdul Gafur Mas'ud.
Informasi ini didalami dengan memeriksa Gafur dan Bendahara Umum DPC Partai Demokrat Balikpapan Nur Afidah Balqis pada Rabu, 6 April 2022. Keduanya diperiksa silang untuk melengkapi masing-masing berkas.
"Tim penyidik mengonfirmasi pada kedua saksi tersebut, antara lain terkait dengan penerimaan sejumlah uang hingga pendistribusian penggunaan uang dimaksud yang tidak hanya untuk kepentingan tersangka AGM (Abdul Gafur Mas'ud) namun juga untuk pihak-pihak lain," kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara bidang penindakan KPK Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Kamis, 7 April 2022.
Ali enggan memerinci pihak yang diduga ikut menikmati uang haram tersebut. Alasannya menjaga kerahasiaan proses penyidikan.
KPK menetapkan enam tersangka dalam kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa serta perizinan di PPU. Mereka, yakni pemberi sekaligus pihak swasta Ahmad Zuhdi.
Kemudian, sebagai penerima Abdul Gafur, Plt Sekda PPU Mulyadi, Kepala Dinas PUPR Kabupaten PPU Edi Hasmoro, Kepala Bidang Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Jusman, dan Bendahara Umum DPC Partai Demokrat Balikpapan Nur Afidah Balqis.
Baca: Bupati PPU Diduga Buat Surat dengan Identitas Fiktif Buat Klaim Kaveling IKN
Zuhdi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara itu, Abdul, Mulyadi, Edi, Jusman, dan Nur disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Jakarta:
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menyelisik penikmat hasil
dugaan suap dalam pengadaan barang dan jasa serta perizinan di Pemerintahan Kabupaten (Pemkab)
Penajam Paser Utara (PPU). Penikmat uang suap bukan diduga bukan hanya Bupati nonaktif PPU
Abdul Gafur Mas'ud.
Informasi ini didalami dengan memeriksa Gafur dan Bendahara Umum DPC Partai Demokrat Balikpapan Nur Afidah Balqis pada Rabu, 6 April 2022. Keduanya diperiksa silang untuk melengkapi masing-masing berkas.
"Tim penyidik mengonfirmasi pada kedua saksi tersebut, antara lain terkait dengan penerimaan sejumlah uang hingga pendistribusian penggunaan uang dimaksud yang tidak hanya untuk kepentingan tersangka AGM (Abdul Gafur Mas'ud) namun juga untuk pihak-pihak lain," kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara bidang penindakan KPK Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Kamis, 7 April 2022.
Ali enggan memerinci pihak yang diduga ikut menikmati uang haram tersebut. Alasannya menjaga kerahasiaan proses penyidikan.
KPK menetapkan enam tersangka dalam kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa serta perizinan di PPU. Mereka, yakni pemberi sekaligus pihak swasta Ahmad Zuhdi.
Kemudian, sebagai penerima Abdul Gafur, Plt Sekda PPU Mulyadi, Kepala Dinas PUPR Kabupaten PPU Edi Hasmoro, Kepala Bidang Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Jusman, dan Bendahara Umum DPC Partai Demokrat Balikpapan Nur Afidah Balqis.
Baca:
Bupati PPU Diduga Buat Surat dengan Identitas Fiktif Buat Klaim Kaveling IKN
Zuhdi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara itu, Abdul, Mulyadi, Edi, Jusman, dan Nur disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)