medcom.id, Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengakui sejatinya peredaran vaksin palsu bukan baru-baru ini terjadi. Dalam catatan mereka, kasus serupa pernah terjadi pada 2008.
"Vaksin yang tidak sesuai persyaratan secara sporadis telah ditemukan sejak 2008," kata Pelaksana Tugas Kepala BPOM Tengku Bahdar Johan Hamid di kantornya, Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat, Selasa 28 Juni.
Bahdar menuturkan, saat itu, kasus pemalsuan vaksin yang terungkap belum berskala industri. Namun, modus pelaku pada umumnya menjual vaksin yang telah melewati masa kedaluwarsa.
Pada 2013, Badan POM pun sempat menerima laporan dari Perusahaan Farmasi Glaxo Smith Kline terkait pemalsuan produk vaksin miliknya. Hal itu dilakukan dua sarana yang tidak memiliki kewenangan dalam praktik kefarmasian.
"Satu melarikan diri, satu tertangkap, (namun) barang vaksin palsu saat digeledah sudah enggak ada," ujar dia.
Ilustrasi. Pegawai Dinas Kesehatan menunjukan dua botol vaksin Poliomyelitis Oral/ANT/Jojon
Di tingkat pengadilan, pelaku dikenai sanksi sesuai berupa denda sebesar Rp1 juta. Lantaran tak ada barang bukti ditemukan, pengadilan hanya menyatakan pelaku tidak memiliki keahlian dan kewenangan melakukan praktik kefarmasian berdasar Pasal 198 Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Satu tahun berselang, BPOM juga pernah menghentikan sementara kegiatan satu pedagang besar farmasi (PBF) resmi. Mereka diduga terlibat menyalurkan produk vaksin ke sarana ilegal/tidak berwenang yang diduga menjadi sumber masuknya produk palsu.
"Kami setop izinnya," tutur Bahdar.
Di 2015, peredaran vaksin palsu kembali ditemukan, bahkan ada di beberapa rumah sakit di Serang, Banten. Bahdar tak merinci jelas kasus ini. Dia hanya menyatakan saat ini kasus sedang dalam proses tindak lanjut secara pro justitia.
"Sedang proses hukum, sekarang masih P-19 (pengambalian berkas perkara untuk dilengkapi)," tutur dia.
Kasus terbaru, BPOM dan Bareskrim Mabes Polri menerima laporan dari PT Sanofi-Aventis Indonesia terkait peredaran produk vaksin Sanofi yang dipalsukan pada 2016. BPOM menelusuri sarana distribusi yang diduga menyalurkan produk vaksin palsu tersebut. Berdasarkan penelusuran, diketahui CV AM yang diduga melakukan pemalsuan menggunakan alamat fiktif.
"Karena kami bukan Kepolisian, kami susah lacak (lebih jauh)," papar Mantan Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA ini .
Sidak vaksin palsu/ANT/Abriawan Abhe
Sementara itu, Bareskrim secara paralel menyelidiki kasus tersebut. Korps Bhayangkara berhasil membongkar jaringan vaksin palsu dengan skala besar. Polri telah menetapkan 16 tersangka. Sedikitnya 15 tersangka telah ditahan dan 18 saksi telah diperiksa dalam kasus ini.
Tersangka akhirnya kena jerat hukum. Mereka dianggap melanggar UU Kesehatan, UU Perlindungan Konsumen dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara.
Bahdar menyebut kasus ini kejahatan terbesar terkait vaksin palsu yang terungkap. Dia mengakui kesalahannya lantaran kasus vaksin palsu masih terus merebak. Namun, Bahdar menjelaskan, kasus-kasus ini merupakan kriminal murni yang memang sulit dibumihanguskan. Peredaran vaksin palsu pun diketahu sudah merambah lima lokasi, yakni Subang, Jakarta, Tangerang Selatan, Bekasi, dan Semarang.
"Kenapa (vaksin palsu) ada? Iya salah Badan POM. Tapi banyak orang jahat di luar sana," ujar dia.
medcom.id, Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengakui sejatinya peredaran vaksin palsu bukan baru-baru ini terjadi. Dalam catatan mereka, kasus serupa pernah terjadi pada 2008.
"Vaksin yang tidak sesuai persyaratan secara sporadis telah ditemukan sejak 2008," kata Pelaksana Tugas Kepala BPOM Tengku Bahdar Johan Hamid di kantornya, Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat, Selasa 28 Juni.
Bahdar menuturkan, saat itu, kasus pemalsuan vaksin yang terungkap belum berskala industri. Namun, modus pelaku pada umumnya menjual vaksin yang telah melewati masa kedaluwarsa.
Pada 2013, Badan POM pun sempat menerima laporan dari Perusahaan Farmasi Glaxo Smith Kline terkait pemalsuan produk vaksin miliknya. Hal itu dilakukan dua sarana yang tidak memiliki kewenangan dalam praktik kefarmasian.
"Satu melarikan diri, satu tertangkap, (namun) barang vaksin palsu saat digeledah sudah enggak ada," ujar dia.
Ilustrasi. Pegawai Dinas Kesehatan menunjukan dua botol vaksin Poliomyelitis Oral/ANT/Jojon
Di tingkat pengadilan, pelaku dikenai sanksi sesuai berupa denda sebesar Rp1 juta. Lantaran tak ada barang bukti ditemukan, pengadilan hanya menyatakan pelaku tidak memiliki keahlian dan kewenangan melakukan praktik kefarmasian berdasar Pasal 198 Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Satu tahun berselang, BPOM juga pernah menghentikan sementara kegiatan satu pedagang besar farmasi (PBF) resmi. Mereka diduga terlibat menyalurkan produk vaksin ke sarana ilegal/tidak berwenang yang diduga menjadi sumber masuknya produk palsu.
"Kami setop izinnya," tutur Bahdar.
Di 2015, peredaran vaksin palsu kembali ditemukan, bahkan ada di beberapa rumah sakit di Serang, Banten. Bahdar tak merinci jelas kasus ini. Dia hanya menyatakan saat ini kasus sedang dalam proses tindak lanjut secara pro justitia.
"Sedang proses hukum, sekarang masih P-19 (pengambalian berkas perkara untuk dilengkapi)," tutur dia.
Kasus terbaru, BPOM dan Bareskrim Mabes Polri menerima laporan dari PT Sanofi-Aventis Indonesia terkait peredaran produk vaksin Sanofi yang dipalsukan pada 2016. BPOM menelusuri sarana distribusi yang diduga menyalurkan produk vaksin palsu tersebut. Berdasarkan penelusuran, diketahui CV AM yang diduga melakukan pemalsuan menggunakan alamat fiktif.
"Karena kami bukan Kepolisian, kami susah lacak (lebih jauh)," papar Mantan Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA ini .
Sidak vaksin palsu/ANT/Abriawan Abhe
Sementara itu, Bareskrim secara paralel menyelidiki kasus tersebut. Korps Bhayangkara berhasil membongkar jaringan vaksin palsu dengan skala besar. Polri telah menetapkan 16 tersangka. Sedikitnya 15 tersangka telah ditahan dan 18 saksi telah diperiksa dalam kasus ini.
Tersangka akhirnya kena jerat hukum. Mereka dianggap melanggar UU Kesehatan, UU Perlindungan Konsumen dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara.
Bahdar menyebut kasus ini kejahatan terbesar terkait vaksin palsu yang terungkap. Dia mengakui kesalahannya lantaran kasus vaksin palsu masih terus merebak. Namun, Bahdar menjelaskan, kasus-kasus ini merupakan kriminal murni yang memang sulit dibumihanguskan. Peredaran vaksin palsu pun diketahu sudah merambah lima lokasi, yakni Subang, Jakarta, Tangerang Selatan, Bekasi, dan Semarang.
"Kenapa (vaksin palsu) ada? Iya salah Badan POM. Tapi banyak orang jahat di luar sana," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OJE)