Kapolri Jenderal Tito Karnvian (kanan) dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo (kiri). Antara Foto/Basri Marzuki
Kapolri Jenderal Tito Karnvian (kanan) dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo (kiri). Antara Foto/Basri Marzuki

Memberi Pelajaran atau Antikritik

Tri Kurniawan • 04 Agustus 2016 15:17
medcom.id, Jakarta: Polri, TNI, dan Badan Narkotika Nasional (BNN) merespons pernyataan Haris Azhar dengan melaporkannya ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim). Bagi ketiga lembaga itu, pelaporan ini sebagai pelajaran bagi masyarakat. Di sisi lain banyak yang menganggap pelapor antikritik.
 
Pelaporan ke Bareskrim terkait informasi yang disampaikan Haris soal keterlibatan anggota Polri, TNI, dan BNN dalam bisnis narkoba. Dalam pertemuan di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan pada 2014, Haris mendengar pengakuan dari terpidana mati kasus narkotika Freddy Budiman bahwa dirinya selama beberapa tahun menyelundupkan narkoba memberi uang Rp450 miliar ke BNN.
 
Memberi Pelajaran atau Antikritik
Infografik MI

Kepada Haris, Freddy juga mengaku memberikan Rp90 miliar kepada pejabat tertentu di Mabes Polri. Kemudian, Freddy bercerita dirinya pernah membawa narkoba dengan mobil fasilitas tentara berbintang dua. Sang jenderal, menurut pengakuan Freddy, duduk di sampingnya saat menyetir dari Medan sampai Jakarta.
 
Haris adalah Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Dia salah seorang yang menentang hukuman mati. Cerita Freddy itu Haris sebar melalui media elektronik beberapa jam setelah Freddy dieksekusi mati bersama tiga terpidana mati lainnya, Jumat 29 Juli.
 
Selasa 2 Agustus, Divisi Hukum Polri, TNI, dan BNN rapat bersama, membahas pernyataan Haris di media massa. Keputusan rapat tersebut adalah membawa masalah ini ke meja hijau. Haris dilaporkan dengan dugaan melanggar Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
 
Memberi Pelajaran atau Antikritik
Haris Azhar. Antara Foto/M. Agung Rajasa
 
Bagi Polri, pelaporan terhadap Haris bisa jadi pembelajaran, tidak hanya baggi yang bersangkutan tetapi juga masyarakat agar berhati-hati menyampaikan informasi ke publik. "Sebaiknya, Haris Azhar sebelum menyampaikan ke publik, crosscheck dahulu lah," kata Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian, Rabu (3/8/2016).
 
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Irjen Boy Rafli Amar mengatakan, Haris menyebar informasi yang disebut dari Freddy Budiman tanpa bukti rekaman. Haris mengakui itu, tetapi ia berharap penegak hukum menelusuri informasi yang ia dapat, bukan malah melapor ke Bareskrim.
 
Pakar komunikasi Universitas Indonesia Sudibyo sepakat dengan Tito bahwa kebenaran setiap informasi harus di-crosscheck sebelum diumbar ke publik. Informasi tanpa fakta dan bukti bisa jadi fitnah. Ini pelajaran yang mesti publik tangkap.
 
Namun demikian, menurut Sudibyo, pelajaran juga untuk Polri agar tidak buru-buru membawa masalah ke meja hukum. Ia menyarankan Polri mengedepankan komunikasi, sehingga tidak ada kesan Polri mengekang kebebasan mengutarakan pendapat.
 
"Lebih baik duduk bersama dahulu. Jadi ini masalahnya ada di komunikasi. Yang harus dikedepankan itu komunikatif, bukan interogatif," ujar pakar manajemen isu ini saat dihubungi.
 



 
Pada kesempatan berbeda, Dosen Psikologi Universitas Airlangga Achmad Chusairi mengatakan, mungkin maksud Haris baik saat menyampaikan pengakuan Freddy. Tetapi, kata dia, maksud baik harus dibarengi dengan cara yang baik pula.
 
Secara hukum, lanjut Chusairi, Polri, TNI, dan BNN, pantas melaporkan Haris ke Bareskrim. Namun, respons ketiga lembaga jangan berhenti sampai situ. Mereka harus mengimbangi pengakuan Haris dengan investigasi internal secara komprehensif.
 
"Seandainya langkah itu (hukum) tidak diimbangi dengan mengklarifikasi dan koreksi ke dalam, takutnya masyarakat menganggap ini sebagai penghukuman terhadap inisiatif masyarakat," katanya.
 
Chusairi yakin, masyarakat mengganggap pelaporan Haris Azhar ke Bareskrim oleh Polri, TNI, dan BNN, sebagai upaya membela diri. Chusairi menyampaikan, informasi Haris belum bisa disimpulkan tidak valid, karena validitas tidak bisa diukur hanya dengan validitas hukum.
 
Dalam ilmu pengetahuan, mencari kebenaran bisa dengan banyak cara, tidak hanya mengandalkan keterangan saksi atau bukti rekaman. Bisa dengan survei atau wawancara mendalam. "Jadi, polisi jangan hanya ngomong di level hukum, yang lebih holistik lah," ujar Chusairi.
 
"Kalau bilang pernyataan itu tidak sah karena tidak ada bukti, itu menurut saya absurd. Karena validitas itu banyak levelnya. Kalau itu tidak ada bukti, belum tentu tidak valid karena bisa jadi cara kita mencari bukti yang perlu diubah."
 
Menurutnya, penegak hukum jangan hanya berdebat ada bukti atau tidak. Polisi juga harus mempertimbangkan sosiologi hukum. Chusairi berharap, pernyataan Haris jadi momentum Polri, TNI, dan BNN membenahi diri.
 
"Supremasi negara kita selain hukum adalah moral. Mau tidak mereka mengoreksi diri agar lebih baik," ujar Chusairi.
 
Terkait pelaporan Haris ke Bareskrim, Presiden Joko Widodo mengingatkan penegak hukum tidak reaktif terhadap kritik. Melalui Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi SP, Presiden memerintahkan aparat untuk memandang kritik masyarakat sebagai koreksi dan masukan yang membangun.
 
"Presiden mengingatkan aparat untuk melihat kritik atau info itu sebagai masukan guna melakukan koreksi apabila kritik dan info itu berkaitan dengan oknum aparat," ujar Johan, Rabu (4/8/2016).
 
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Hubungan Masyarakat Polri Kombes Martinus Sitompul menegaskan, Kepolisian tidak antikritik. "Tetapi kritik yang tidak berdasar, tidak ada fakta, itu jangan juga diberikan kepada kami," kata Martinus.
 
Apapun makna pelaporan Haris ke Bareskrim, nyatanya narkoba sudah merasuki semua kalangan. Termasuk di tubuh Polri, TNI dan BNN.
 
Pada 2012, Polda Metro Jaya memecat Aipda Sugito dan Bripka Bahri Afrianto. Penangkapan keduanya berdasarkan pengembangan kasus narkoba yang menjerat Freddy Budiman. Anggota Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya itu divonis 9,5 tahun penjara karena menjual barang bukti sabu senilai Rp140 juta.
 
2015, Polda Metro Jaya memecat sekira 23 polisi karena terlibat kasus narkoba. April tahun ini, anggota BNN menangkap Kepala Satuan Narkoba Polres Pelabuhan Belawan AKP Ichwan Lubis dengan dugaan meneriam suap Rp2,3 miliar dari tersangka kasus narkoba Acin.
 
TNI bekerja sama dengan BNN menggerebek rumah di Kompleks Kostrad, Tanah Kusir, Jakarta, 22 Februari. 18 tentara terindikasi terlibat penyalahgunaan narkoba.
 
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyampaikan penggerebekan Kompleks Kostrad bentuk keseriusan TNI membersihkan internal. "Narkoba itu bisnis ilegal, yang ilegal biasanya bersandar pada aparat, mencari backing," ujar Gatot, Selasa 1 Maret.
 
Sementara Komjen Budi Waseso, selama ia menjabat Kepala BNN, mengaku memecat enam anggota karena punya kaitan dengan bandar narkoba.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TRK)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan