medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konstitusi kembali menggelar persidangan uji materi kelima mengenai Undang-Undang Perkawinan dengan agenda mendengarkan keterangan organisasi keagamaan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), Walubi, dan PGI.
MUI mendapat kesempatan pertama untuk memberikan keterangan kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hamdan Zoelva. Dalam keterangannya, MUI menyoroti aturan-aturan pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974 hingga sejarah pembahasan UU Perkawinan yang menemui banyak rintangan dan kebuntuan.
Menariknya, dalam memberikan keterangannya, MUI justru meminta para pemohon untuk banyak membaca tentang perumusan pasal 2 ayat (1) a quo sebelum mengajukan gugatan.
"Para pemohon uji materi pasal 2 ayat 1 seharusnya banyak-banyak membaca buku literatur terlebih dahulu guna memahami sejarah perumusan pasal 2 ayat 1 a quo," kata M Luthfie Hakim mewakili MUI, dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta (5/11/2014).
Menurut MUI, pemohon hanya membesar-besarkan persoalan pasal 2 ayat (1) yang tanpa argumentasi yang jelas. MUI mengungkapkan, pasal 2 ayat (1) ini sudah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat dan sejak disahknannya undang-undang ini pada tahun 1974 lalu, belum pernah terjadi penolakan atau gejolak di masyarakat.
"Sungguh cara pikir seperti ini memiliki tingkat absurditas tinggi dan tidak layak dipertimbangkan," katanya.
Sementara itu, dalam pasal 2 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1974 sudah sangat jelas menyebutkan bahwa perkawinan yang sah di muka agama dan negara adalah perkawinan yang sesuai dengan aturan yang telah diatur dalam agama dan kepercayaan masing-masing orang.
medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konstitusi kembali menggelar persidangan uji materi kelima mengenai Undang-Undang Perkawinan dengan agenda mendengarkan keterangan organisasi keagamaan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), Walubi, dan PGI.
MUI mendapat kesempatan pertama untuk memberikan keterangan kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hamdan Zoelva. Dalam keterangannya, MUI menyoroti aturan-aturan pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974 hingga sejarah pembahasan UU Perkawinan yang menemui banyak rintangan dan kebuntuan.
Menariknya, dalam memberikan keterangannya, MUI justru meminta para pemohon untuk banyak membaca tentang perumusan pasal 2 ayat (1) a quo sebelum mengajukan gugatan.
"Para pemohon uji materi pasal 2 ayat 1 seharusnya banyak-banyak membaca buku literatur terlebih dahulu guna memahami sejarah perumusan pasal 2 ayat 1 a quo," kata M Luthfie Hakim mewakili MUI, dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta (5/11/2014).
Menurut MUI, pemohon hanya membesar-besarkan persoalan pasal 2 ayat (1) yang tanpa argumentasi yang jelas. MUI mengungkapkan, pasal 2 ayat (1) ini sudah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat dan sejak disahknannya undang-undang ini pada tahun 1974 lalu, belum pernah terjadi penolakan atau gejolak di masyarakat.
"Sungguh cara pikir seperti ini memiliki tingkat absurditas tinggi dan tidak layak dipertimbangkan," katanya.
Sementara itu, dalam pasal 2 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1974 sudah sangat jelas menyebutkan bahwa perkawinan yang sah di muka agama dan negara adalah perkawinan yang sesuai dengan aturan yang telah diatur dalam agama dan kepercayaan masing-masing orang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LAL)