medcom.id, Jakarta: Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memenangkan Mahkamah Agung (MA) dalam gugatan kepemimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Gugatan itu diajukan mantan Wakil Ketua DPD G.K.R. Hemas.
"Mengadili, menyatakan permohonan pemohon tidak diterima," kata Hakim Ketua Udjang Abdullah di gedung PTUN, Jakarta Timur, Kamis 8 Juni 2017.
Dalam pertimbangannya, hakim menilai, pemanduan sumpah oleh Wakil Ketua MA Suwardi yang ingin dibatalkan pemohon bukan objek TUN. "Karena itu tindakan seremonial ketatanegaraan," kata Abdullah.
Selain itu, Hakim juga menimbang prinsip fiktif positif perkara ini. Menurut dia, prinsip tersebut tak terpenuhi karena yang diperkarakan bukan merupakan objek TUN sehingga tak sesuai dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
Konstruksi objek TUN fiktif positif adalah hasil dari sikap diam yang merupakan tanda setuju terhadap suatu masalah. Namun, hal tersebut harus dilakukan oleh pejabat TUN, sesuai dengan Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan.
Sementara itu, yang dilakukan MA melalui Wakil Ketua Suwardi hanya menjalankan amanat UU melalui pemanduan sumpah, bukan sebagai pejabat TUN. Hal itu masuk kategori seremonial ketatanegaraan, bukan objek.
Menurut Pasal 15 huruf a Peraturan MA RI Tahun 2015, kata dia, disebutkan amar putusan penerimaan permohonan berbunyi permohonan tidak dapat diterima karena tidak memenuhi syarat formal sehingga tidak memliki legal standing. "Sehingga tidak akan mempertimbangkan lebih lanjut tentang pokok permohonan pemohon," pungkas Udjang.
Di sisi lain, rentetan proses peradilan ini menuai banyak pro kontra. Rerata sikap dukungan untuk PTUN menganulir pemanduan sumpah datang dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Gonjang-ganjing DPD bermula saat MA mengeluarkan putusan atas perkara uji materi peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Tata Tertib (Tatib) terhadap UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan. MA mengabulkan gugatan para pemohon dan mencabut peraturan tersebut.
Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2016 salah satu poinnya adalah pemotongan masa jabatan pimpinan DPD, dari lima tahun menjadi 2,5 tahun. Dengan pengabulan gugatan oleh MA, masa jabatan pimpinan DPD menjadi lima tahun.
Dalam sidang paripurna DPD yang digelar 4 April 2017, seharusnya Sekjen DPD Sudarsono Hardjosoekarto membacakan putusan MA soal masa jabatan pimpinan DPD menjadi lima tahun. Namun, putusan tidak dibacakan hingga akhirnya DPD memilih pimpinan baru sesuai hasil kesepakatan rapat paripurna sebelumnya.
Oesman Sapta Odang (OSO) terpilih menjadi ketua DPD secara aklamasi. Sementara itu, Damayanti Lubis dan Nono Sampono sebagai wakil ketua DPD.
medcom.id, Jakarta: Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memenangkan Mahkamah Agung (MA) dalam gugatan kepemimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Gugatan itu diajukan mantan Wakil Ketua DPD G.K.R. Hemas.
"Mengadili, menyatakan permohonan pemohon tidak diterima," kata Hakim Ketua Udjang Abdullah di gedung PTUN, Jakarta Timur, Kamis 8 Juni 2017.
Dalam pertimbangannya, hakim menilai, pemanduan sumpah oleh Wakil Ketua MA Suwardi yang ingin dibatalkan pemohon bukan objek TUN. "Karena itu tindakan seremonial ketatanegaraan," kata Abdullah.
Selain itu, Hakim juga menimbang prinsip fiktif positif perkara ini. Menurut dia, prinsip tersebut tak terpenuhi karena yang diperkarakan bukan merupakan objek TUN sehingga tak sesuai dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
Konstruksi objek TUN fiktif positif adalah hasil dari sikap diam yang merupakan tanda setuju terhadap suatu masalah. Namun, hal tersebut harus dilakukan oleh pejabat TUN, sesuai dengan Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan.
Sementara itu, yang dilakukan MA melalui Wakil Ketua Suwardi hanya menjalankan amanat UU melalui pemanduan sumpah, bukan sebagai pejabat TUN. Hal itu masuk kategori seremonial ketatanegaraan, bukan objek.
Menurut Pasal 15 huruf a Peraturan MA RI Tahun 2015, kata dia, disebutkan amar putusan penerimaan permohonan berbunyi permohonan tidak dapat diterima karena tidak memenuhi syarat formal sehingga tidak memliki
legal standing. "Sehingga tidak akan mempertimbangkan lebih lanjut tentang pokok permohonan pemohon," pungkas Udjang.
Di sisi lain, rentetan proses peradilan ini menuai banyak pro kontra. Rerata sikap dukungan untuk PTUN menganulir pemanduan sumpah datang dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Gonjang-ganjing DPD bermula saat MA mengeluarkan putusan atas perkara uji materi peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Tata Tertib (Tatib) terhadap UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan. MA mengabulkan gugatan para pemohon dan mencabut peraturan tersebut.
Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2016 salah satu poinnya adalah pemotongan masa jabatan pimpinan DPD, dari lima tahun menjadi 2,5 tahun. Dengan pengabulan gugatan oleh MA, masa jabatan pimpinan DPD menjadi lima tahun.
Dalam sidang paripurna DPD yang digelar 4 April 2017, seharusnya Sekjen DPD Sudarsono Hardjosoekarto membacakan putusan MA soal masa jabatan pimpinan DPD menjadi lima tahun. Namun, putusan tidak dibacakan hingga akhirnya DPD memilih pimpinan baru sesuai hasil kesepakatan rapat paripurna sebelumnya.
Oesman Sapta Odang (OSO) terpilih menjadi ketua DPD secara aklamasi. Sementara itu, Damayanti Lubis dan Nono Sampono sebagai wakil ketua DPD.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(OGI)