medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 (UU MD3), yang diajukan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Perkara yang digugat terkait masa jabatan pimpinan MPR, DPR dan DPD yang diberikan jangka waktu.
Sidang putusan digelar di ruang sidang utama gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat 6, Jakarta Pusat, Selasa 28 Februari 2017. Empat anggota DPD yang mengajukan permohonan uji materi ini yakni Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Djasarmen Purba, Anang Prihantoro, dan Marhany Victor Poly Pua.
"Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan putusannya, Selasa 28 Februari 2017.
Sidang putusan ini digelar setelah dalam sidang sebelumnya pada 5 Januari 2017, MK menerima perbaikan. Hemas Cs dalam perkara nomor 109/PUU-XIV/2016 mengujikan beberapa norma yaitu Pasal 15 ayat (2) tentang jabatan pimpinan MPR; Pasal 84 ayat (2) tentang jabatan Pimpinan DPR; serta pasal 260 ayat (1) tentang jabatan pimpinan DPD.
Hemas lalu menguji tiga pasal dalam UU MD3 yang intinya mempermasalahkan aturan terkait pimpinan DPD. Ketiga pasal tersebut yakni Pasal 260 ayat (1); Pasal 261 (1); dan Pasal 300 ayat (2).
Majelis Hakim kemudian mempertanyakan objek yang menjadi permohonan Hemas tersebut. Sebab Hemas hanya cenderung berfokus pada peraturan tata tertib masa jabatan ketua DPD, bukan UU MD3.
Majelis Hakim berpendapat, bahwa permohonan yang diajukan Hemas lebih mengarah pada sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN). Namun, karena SKLN hanya bisa diajukan oleh lembaga negara yang kewenangannya ada dalam UUD 1945, maka Majelis Hakim meminta Hemas untuk fokus pada uji konstitusionalnya norma saja.
Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati saat membacakan pertimbangan putusan mengatakan, MK tidak menemukan adanya persoalan konstitusionalitas dalam pasal-pasal yang diajukan Hemas tersebut. Permasalahan yang diajukan Hemas pada dasarnya berkaitan dengan masa jabatan yang semula lima tahun diubah menjadi dua tahun enam bulan telah tercantum dalam tata tertib pemilihan ketua DPD.
Oleh karena itu, meskipun Pemohon mengajukan sejumlah pasal dalam UU MD3 untuk diuji, MK tidak dapat menerima permohonan tersebut. Hal ini lantaran substansi yang dipersoalkan telah diatur dalam Peraturan DPD tentang Tata Tertib, meskipun pada perihal permohonannya disebutkan sebagai pengujian terhadap UUD 1945.
"Mahkamah tidak berwenang mengadilinya. Adapun terhadap permohon privisi para pemohon, menurut Mahkamah tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan," kata Maria.
medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 (UU MD3), yang diajukan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Perkara yang digugat terkait masa jabatan pimpinan MPR, DPR dan DPD yang diberikan jangka waktu.
Sidang putusan digelar di ruang sidang utama gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat 6, Jakarta Pusat, Selasa 28 Februari 2017. Empat anggota DPD yang mengajukan permohonan uji materi ini yakni Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Djasarmen Purba, Anang Prihantoro, dan Marhany Victor Poly Pua.
"Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan putusannya, Selasa 28 Februari 2017.
Sidang putusan ini digelar setelah dalam sidang sebelumnya pada 5 Januari 2017, MK menerima perbaikan. Hemas Cs dalam perkara nomor 109/PUU-XIV/2016 mengujikan beberapa norma yaitu Pasal 15 ayat (2) tentang jabatan pimpinan MPR; Pasal 84 ayat (2) tentang jabatan Pimpinan DPR; serta pasal 260 ayat (1) tentang jabatan pimpinan DPD.
Hemas lalu menguji tiga pasal dalam UU MD3 yang intinya mempermasalahkan aturan terkait pimpinan DPD. Ketiga pasal tersebut yakni Pasal 260 ayat (1); Pasal 261 (1); dan Pasal 300 ayat (2).
Majelis Hakim kemudian mempertanyakan objek yang menjadi permohonan Hemas tersebut. Sebab Hemas hanya cenderung berfokus pada peraturan tata tertib masa jabatan ketua DPD, bukan UU MD3.
Majelis Hakim berpendapat, bahwa permohonan yang diajukan Hemas lebih mengarah pada sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN). Namun, karena SKLN hanya bisa diajukan oleh lembaga negara yang kewenangannya ada dalam UUD 1945, maka Majelis Hakim meminta Hemas untuk fokus pada uji konstitusionalnya norma saja.
Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati saat membacakan pertimbangan putusan mengatakan, MK tidak menemukan adanya persoalan konstitusionalitas dalam pasal-pasal yang diajukan Hemas tersebut. Permasalahan yang diajukan Hemas pada dasarnya berkaitan dengan masa jabatan yang semula lima tahun diubah menjadi dua tahun enam bulan telah tercantum dalam tata tertib pemilihan ketua DPD.
Oleh karena itu, meskipun Pemohon mengajukan sejumlah pasal dalam UU MD3 untuk diuji, MK tidak dapat menerima permohonan tersebut. Hal ini lantaran substansi yang dipersoalkan telah diatur dalam Peraturan DPD tentang Tata Tertib, meskipun pada perihal permohonannya disebutkan sebagai pengujian terhadap UUD 1945.
"Mahkamah tidak berwenang mengadilinya. Adapun terhadap permohon privisi para pemohon, menurut Mahkamah tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan," kata Maria.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(YDH)