Jakarta: Sidang gugatan praperadilan yang diajukan Panglima Serdadu Eks Trimatra Nusantara, Ruslan Buton, ditunda. Polisi sebagai pihak tergugat tak hadir.
"Hal tersebut sudah dikoordinasikan sebelumnya, (tidak hadir) karena tim kuasa hukum Polri masih melengkapi administrasi dan masih menyusun materi persidangan," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis, 11 Juni 2020.
Awi memastikan tim kuasa hukum Polri bakal hadir di sidang kedua. Sidang praperadilan Ruslan ditunda hingga Rabu, 17 Juni 2020.
"Polri sangat menghargai proses persidangan dan akan hadir pada sidang yang telah dijadwalkan pekan depan," ujar Awi.
Sidang gugatan praperadilan pengkritik Presiden Joko Widodo itu sedianya berlangsung Rabu, 10 Juni 2020. Kuasa Hukum Ruslan, Tonin Tachta, kecewa atas ketidakhadiran Polri.
"Artinya disuruh masyarakat menghargai hukum, ternyata mereka tidak menghargai hukum dengan tidak datang," kata Tonin, Rabu, 10 Juni 2020.
(Baca: Panglima Serdadu Eks Trimata Nusantara Ditangkap)
Ruslan mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ruslan menggugat penetapan tersangkanya.
Dia menilai penetapan tersangka itu tidak sah. Ruslan berharap dibebaskan serta perkara pidana yang menjeratnya dihentikan.
Kasus bermula saat Ruslan mendesak Presiden Joko Widodo mengundurkan diri lewat video yang viral di media sosial pada Senin, 18 Mei 2020. Ruslan menilai tata kelola berbangsa dan bernegara selama pandemi covid-19 tidak masuk akal.
Dia juga mengkritisi masa kepemimpinan Jokowi. Menurut dia, lebih baik Jokowi mundur dari jabatan untuk menyelamatkan bangsa. Ruslan dilaporkan ke polisi pada 22 Mei 2020. Polisi baru menetapkan Ruslan sebagai tersangka pada 26 Mei 2020 dan dia ditangkap pada 28 Mei 2020.
Mantan anggota TNI AD ini dijerat Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang dilapis dengan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dengan ancaman pidana enam tahun penjara dan atau Pasal 207 KUHP dengan ancaman dua tahun penjara.
Jakarta: Sidang gugatan praperadilan yang diajukan Panglima Serdadu Eks Trimatra Nusantara, Ruslan Buton, ditunda. Polisi sebagai pihak tergugat tak hadir.
"Hal tersebut sudah dikoordinasikan sebelumnya, (tidak hadir) karena tim kuasa hukum Polri masih melengkapi administrasi dan masih menyusun materi persidangan," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis, 11 Juni 2020.
Awi memastikan tim kuasa hukum Polri bakal hadir di sidang kedua. Sidang praperadilan Ruslan ditunda hingga Rabu, 17 Juni 2020.
"Polri sangat menghargai proses persidangan dan akan hadir pada sidang yang telah dijadwalkan pekan depan," ujar Awi.
Sidang gugatan praperadilan pengkritik Presiden Joko Widodo itu sedianya berlangsung Rabu, 10 Juni 2020. Kuasa Hukum Ruslan, Tonin Tachta, kecewa atas ketidakhadiran Polri.
"Artinya disuruh masyarakat menghargai hukum, ternyata mereka tidak menghargai hukum dengan tidak datang," kata Tonin, Rabu, 10 Juni 2020.
(Baca:
Panglima Serdadu Eks Trimata Nusantara Ditangkap)
Ruslan mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ruslan menggugat penetapan tersangkanya.
Dia menilai penetapan tersangka itu tidak sah. Ruslan berharap dibebaskan serta perkara pidana yang menjeratnya dihentikan.
Kasus bermula saat Ruslan mendesak Presiden Joko Widodo mengundurkan diri lewat video yang viral di media sosial pada Senin, 18 Mei 2020. Ruslan menilai tata kelola berbangsa dan bernegara selama pandemi covid-19 tidak masuk akal.
Dia juga mengkritisi masa kepemimpinan Jokowi. Menurut dia, lebih baik Jokowi mundur dari jabatan untuk menyelamatkan bangsa. Ruslan dilaporkan ke polisi pada 22 Mei 2020. Polisi baru menetapkan Ruslan sebagai tersangka pada 26 Mei 2020 dan dia ditangkap pada 28 Mei 2020.
Mantan anggota TNI AD ini dijerat Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang dilapis dengan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dengan ancaman pidana enam tahun penjara dan atau Pasal 207 KUHP dengan ancaman dua tahun penjara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)