medcom.id, Jakarta: Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Penerbitan perppu ini dilakukan sebagai salah satu upaya dalam melindungi anak-anak Indonesia dari tindak kejahatan seksual yang semakin mengkhawatirkan dan dianggap sebagai kejahatan serius dengan memberikan hukuman yang lebih berat terhadap pelaku.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise mengatakan Kementerian PP dan PA segera mensosialisasikan pasal-pasal dalam perppu ke masyarakat dan pemerintah daerah, terutama daerah yang kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak tinggi.
“Kita menyambut baik dengan dikeluarkannya perppu oleh Presiden. Apalagi ditambah adanya hukuman pemberatan seperti pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Segera kami sosialisasikan Perppu tersebut sebagai upaya pencegahan terhadap masyarakat. Kami juga mendorong ketahanan keluarga agar peran keluarga semakin kuat,” kata Menteri Yohana dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/5/2016).
Selain itu, Yohana juga mendesak DPR untuk segera menetapkan perppu menjadi Undang-undang. Hal ini agar secara konkret dapat memberikan efek jera kepada para pelaku kekerasan seksual.
Isi perppu yang dinilai dapat memberikan efek jera terdapat dalam Pasal 76 D Pasal 81 dan Pasal 82 A . Pada Pasal 76 D menyatakan setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Lalu, Pasal 81 ayat (3-4), ketentuan penambahan 1/3 hukuman bagi pelaku, semula hanya bagi orang terdekat yaitu hanya orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik atau tenaga kependidikan, menjadi ditambah dengan orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari dari satu orang secara bersama-sama dan juga pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 D UU No 35 Tahun 2014.
Selain, itu dalam Pasal 81 ayat (5) mengatur tentang pemberatan pokok pidana penjara menjadi paling singkat 10 (sepuluh) dan maksimal 20 tahun, pelaku dipidana mati, seumur hidup, dapat dikenakan dengan ketentuan, jika menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia.
Pasal 81 ayat (6-8) ketentuan pidana tambahan, pidana tambahan berupa pengumuman identitas, kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik (tujuan pemasangan alat pendeteksi elektronik adalah untuk mengetahui keberadaan mantan narapidana). Selanjutnya mengenai tata cara pelaksanaan hukuman berupa kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksian elektronik akan diatur dalam Peraturan Pemerintah dan Pasal 82 A perppu kebiri.
medcom.id, Jakarta: Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Penerbitan perppu ini dilakukan sebagai salah satu upaya dalam melindungi anak-anak Indonesia dari tindak kejahatan seksual yang semakin mengkhawatirkan dan dianggap sebagai kejahatan serius dengan memberikan hukuman yang lebih berat terhadap pelaku.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise mengatakan Kementerian PP dan PA segera mensosialisasikan pasal-pasal dalam perppu ke masyarakat dan pemerintah daerah, terutama daerah yang kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak tinggi.
“Kita menyambut baik dengan dikeluarkannya perppu oleh Presiden. Apalagi ditambah adanya hukuman pemberatan seperti pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Segera kami sosialisasikan Perppu tersebut sebagai upaya pencegahan terhadap masyarakat. Kami juga mendorong ketahanan keluarga agar peran keluarga semakin kuat,” kata Menteri Yohana dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/5/2016).
Selain itu, Yohana juga mendesak DPR untuk segera menetapkan perppu menjadi Undang-undang. Hal ini agar secara konkret dapat memberikan efek jera kepada para pelaku kekerasan seksual.
Isi perppu yang dinilai dapat memberikan efek jera terdapat dalam Pasal 76 D Pasal 81 dan Pasal 82 A . Pada Pasal 76 D menyatakan setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Lalu, Pasal 81 ayat (3-4), ketentuan penambahan 1/3 hukuman bagi pelaku, semula hanya bagi orang terdekat yaitu hanya orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik atau tenaga kependidikan, menjadi ditambah dengan orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari dari satu orang secara bersama-sama dan juga pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 D UU No 35 Tahun 2014.
Selain, itu dalam Pasal 81 ayat (5) mengatur tentang pemberatan pokok pidana penjara menjadi paling singkat 10 (sepuluh) dan maksimal 20 tahun, pelaku dipidana mati, seumur hidup, dapat dikenakan dengan ketentuan, jika menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia.
Pasal 81 ayat (6-8) ketentuan pidana tambahan, pidana tambahan berupa pengumuman identitas, kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik (tujuan pemasangan alat pendeteksi elektronik adalah untuk mengetahui keberadaan mantan narapidana). Selanjutnya mengenai tata cara pelaksanaan hukuman berupa kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksian elektronik akan diatur dalam Peraturan Pemerintah dan Pasal 82 A perppu kebiri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)