Jakarta: Mahkamah Agung (MA) disebut inkonsisten terhadap putusan pembatalan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 terkait pemberian remisi kepada koruptor. Pasalnya, aturan tersebut tak sejalan dengan putusan sebelumnya.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyampaikan sejumlah ketentuan yang bertentangan dengan pembatalan PP Nomor 99 Tahun 2012. Di antaranya putusan Nomor 51 P/HUM/2013 dan Nomor 63 P/HUM/2015.
"MA sudah secara tegas menyatakan bahwa perbedaan syarat pemberian remisi merupakan konsekuensi logis terhadap adanya perbedaan karakter jenis kejahatan, sifat bahayanya, dan dampak kejahatan yang dilakukan oleh seorang terpidana," kata Kurnia saat dikutip dari antikorupsi.org, Minggu, 31 Oktober 2021.
Dia juga menyebut pembatasan hak dalam pemberian remisi diperbolehkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Konsep tersebut tertera dalam Pasal 28 J ayat (2) yang menentukan pembatasan hak melalui undang-undang (UU).
"Bahkan, MA secara eksplisit dalam putusan tahun 2013 menyebutkan PP Nomor 99 Tahun 2012 mencerminkan spirit extraordinary crime," kata dia.
Dia juga mengkritisi alasan hakim membatalkan PP Nomor 99 Tahun 2012 dianggap tidak sesuai dengan model restorative justice. Menurut dia, alasan tersebut keliru.
"Mesti dipahami, pemaknaan model restorative justice seharusnya adalah pemberian remisinya, bukan justru syarat pengetatan," kata dia.
Baca: Remisi Koruptor Disebut Masih Bisa Dicabut dengan Vonis Hakim
Dia menjelaskan pemberian remisi sudah menjadi hak setiap terpidana. Hal itu telah dijamin dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Namun, pengetatan pemberian remisi ini dibuat untuk memberikan efek jera kepada terpidana. MA dinilai tengah berupaya menyamakan kejahatan korupsi dengan jenis kejahatan umum lainnya.
Selain itu, dia menilai MA keliru dalam melihat persoalan overcrowded di lembaga pemasyarakatan. Sebab, problematika terkait kelebihan kapasitas penjara bukan pada persyaratan pemberian remisi, melainkan regulasi dalam bentuk UU, salah satunya terkait narkotika.
Dia membeberkan database pemasyarakatan per Maret tahun 2020. Jumlah terpidana korupsi mencapai 1.906 orang atau 0,7 persen dibandingkan dengan total keseluruhan warga binaan yang mencapai 270.445 orang.
"Melihat data tersebut, pertimbangan majelis hakim MA menjadi semakin tidak masuk akal," ujar dia.
Dia berharap pemerintah dan DPR bijak menyikapi pembatalan PP Nomor 99 Tahun 2021 tersebut. Jangan sampai keputusan MA menjadi celah mempermudah pengurangan hukuman para koruptor.
Jakarta:
Mahkamah Agung (MA) disebut inkonsisten terhadap putusan pembatalan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 terkait pemberian
remisi kepada koruptor. Pasalnya, aturan tersebut tak sejalan dengan putusan sebelumnya.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyampaikan sejumlah ketentuan yang bertentangan dengan pembatalan PP Nomor 99 Tahun 2012. Di antaranya putusan Nomor 51 P/HUM/2013 dan Nomor 63 P/HUM/2015.
"MA sudah secara tegas menyatakan bahwa perbedaan syarat pemberian remisi merupakan konsekuensi logis terhadap adanya perbedaan karakter jenis kejahatan, sifat bahayanya, dan dampak kejahatan yang dilakukan oleh seorang terpidana," kata Kurnia saat dikutip dari antikorupsi.org, Minggu, 31 Oktober 2021.
Dia juga menyebut pembatasan hak dalam pemberian remisi diperbolehkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Konsep tersebut tertera dalam Pasal 28 J ayat (2) yang menentukan pembatasan hak melalui undang-undang (UU).
"Bahkan, MA secara eksplisit dalam putusan tahun 2013 menyebutkan PP Nomor 99 Tahun 2012 mencerminkan spirit
extraordinary crime," kata dia.
Dia juga mengkritisi alasan hakim membatalkan PP Nomor 99 Tahun 2012 dianggap tidak sesuai dengan model
restorative justice. Menurut dia, alasan tersebut keliru.
"Mesti dipahami, pemaknaan model
restorative justice seharusnya adalah pemberian remisinya, bukan justru syarat pengetatan," kata dia.
Baca:
Remisi Koruptor Disebut Masih Bisa Dicabut dengan Vonis Hakim
Dia menjelaskan pemberian remisi sudah menjadi hak setiap terpidana. Hal itu telah dijamin dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Namun, pengetatan pemberian remisi ini dibuat untuk memberikan efek jera kepada terpidana. MA dinilai tengah berupaya menyamakan
kejahatan korupsi dengan jenis kejahatan umum lainnya.
Selain itu, dia menilai MA keliru dalam melihat persoalan
overcrowded di lembaga pemasyarakatan. Sebab, problematika terkait kelebihan kapasitas penjara bukan pada persyaratan pemberian remisi, melainkan regulasi dalam bentuk UU, salah satunya terkait narkotika.
Dia membeberkan database pemasyarakatan per Maret tahun 2020. Jumlah terpidana korupsi mencapai 1.906 orang atau 0,7 persen dibandingkan dengan total keseluruhan warga binaan yang mencapai 270.445 orang.
"Melihat data tersebut, pertimbangan majelis hakim MA menjadi semakin tidak masuk akal," ujar dia.
Dia berharap pemerintah dan DPR bijak menyikapi pembatalan PP Nomor 99 Tahun 2021 tersebut. Jangan sampai keputusan MA menjadi celah mempermudah pengurangan hukuman para koruptor.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)