Jakarta: Margono-Surya and Partners (MSP) Law Firm melaporkan tragedi kematian empat anak buah kapal (ABK) Long Xing 629 asal Indonesia ke Mabes Polri. Polisi diminta mengusut tuntas kematian pekerja migran Indonesia (PMI) itu.
"Kami melaporkam atas dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan tindak pidana perlindungan pekerja migran yang terjadi di kapal Long Xing 629," kata Pengacara Ricky Margono di Jakarta, Jumat, 8 Mei 2020.
Ricky mengatakan rekannya David Surya menerima informasi mengenai tragedi meninggalnya empat ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal berbendera Tiongkok, Long Xing 629 pada 30 April 2020 pukul 17.45 WIB melalui pengacara publik Korea Selatan, Jong Chul Kim dari organisasi Advocates for Public Interest Law (APIL).
"Yang bersangkutan berkonsultasi kepada MSP mengenai tragedi tewasnya empat ABK asal WNI yang bekerja di kapal Long Xing 629," ujar Ricky.
Tiga ABK meninggal dan jenazahnya dilarungkan perairan Samoa. Ketiga ABK itu yakni Al Fattah yang meninggal September 2019 karena sakit dan Sefri asal Palembang. Lalu, Ari meninggal Februari 2020 lalu.
"Satu ABK lainnya meninggal di Korea Selatan setelah almarhum pindah kapal dan pergi ke rumah sakit," kata Ricky.
ABK itu yakni Effendi Pasaribu. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit di Korea Selatan untuk mendapat perawatan, namun nyawanya tidak tertolong. Dia meninggal karena sakit pneumonia.
Jong Chul Kim mengirimkan perjanjian kerja laut (PKL) Effendi Pasaribu melalui pesan instan ke MSP, David Surya. Kemudian David memberikan pendapatnya dari aspek hukum internasional seperti Konvensi International Labour Organization (ILO) mengenai seafarer, seaman dan hukum nasional Indonesia.
"Yakni perjanjian kerja laut, perdagangan orang dan perlindungan terhadap pekerja migran," ucap dia.
Baca: 14 WNI ABK Kapal Long Xing 629 Tiba di Bandara Soetta
David Surya kembali dihubungi Jong Chul Kim dan salah satu lawyer dari Law Firm di Korea Selatan yang mewakili Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI) pada Kamis, 7 Mei 2020 dan Jumat, 8 Mei 2020. Saat ini investigasi di Korea Selatan sedang berlangsung.
Terlapor yang masih dalam lidik diduga melakukan TPPO sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 atau Tindak Pidana Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017.
Indikasinya yakni PKL Effendi Pasaribu dibuat secara bertentangan dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42 Tahun 2016, yakni Pasal 11 ayat 1. PKL itu diduga belum diperiksa oleh perwakilan negara Indonesia di Tiongkok.
Kemudian, upah Effendi dalam PKL disebutkan sebesar USD300 per bulan, dengan uraian yang dikirim kepada keluarga USD150; USD100 disimpan oleh Pemilik Kapal Long Xing, USD50 diambil di atas kapal setelah sandar.
"Kemudian ada jaminan sebesar USD800 yang harus dibayarkan almarhum kepada recruitment agency di Indonesia," ucapnya.
Effendi juga harus mengeluarkan biaya USD600 yang dikurangi dari upah per bulan untuk membayar penggantian biaya dokumen kepada recruitment agency di Indonesia. Effendi terancam denda sebesar USD1.600 jika berhenti kerja dan USD5.000 jika pindah kapal.
"Sebagai warga negara Indonesia yang mendapatkan informasi langsung dari Jong Chul Kim dan telah menerima dokumen salinan PKL Effendi, maka MSP membuat laporan dugaan TPPO kepada polisi untuk dilakukan investigasi secara menyeluruh, agar peristiwa serupa ini tidak terjadi lagi di kemudian hari," katanya.
Ada tiga perusahaan yang bertanggung jawab atas keberangkatan empat ABK tersebut. Perusahaan itu yakni PT Lakemba Perkasa Bahari, PT Alfira Perdana Jaya (APJ), dan PT Karunia Bahari. Namun, Ricky belum mau menyebutkan nama perusahaan yang dilaporkan.
"Kami belum mau menyebutkan nama perusahaan khawatir kabur. Yang penting kami melaporkan. Jangan biarkan kematian empat orang ABK asal Indonesia ini menjadi sia-sia," tegas dia.
Jakarta: Margono-Surya and Partners (MSP) Law Firm melaporkan tragedi kematian empat anak buah kapal (ABK) Long Xing 629 asal Indonesia ke Mabes Polri. Polisi diminta mengusut tuntas kematian pekerja migran Indonesia (PMI) itu.
"Kami melaporkam atas dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan tindak pidana perlindungan pekerja migran yang terjadi di kapal Long Xing 629," kata Pengacara Ricky Margono di Jakarta, Jumat, 8 Mei 2020.
Ricky mengatakan rekannya David Surya menerima informasi mengenai tragedi meninggalnya empat ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal berbendera Tiongkok, Long Xing 629 pada 30 April 2020 pukul 17.45 WIB melalui pengacara publik Korea Selatan, Jong Chul Kim dari organisasi Advocates for Public Interest Law (APIL).
"Yang bersangkutan berkonsultasi kepada MSP mengenai tragedi tewasnya empat ABK asal WNI yang bekerja di kapal Long Xing 629," ujar Ricky.
Tiga ABK meninggal dan jenazahnya dilarungkan perairan Samoa. Ketiga ABK itu yakni Al Fattah yang meninggal September 2019 karena sakit dan Sefri asal Palembang. Lalu, Ari meninggal Februari 2020 lalu.
"Satu ABK lainnya meninggal di Korea Selatan setelah almarhum pindah kapal dan pergi ke rumah sakit," kata Ricky.
ABK itu yakni Effendi Pasaribu. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit di Korea Selatan untuk mendapat perawatan, namun nyawanya tidak tertolong. Dia meninggal karena sakit pneumonia.
Jong Chul Kim mengirimkan perjanjian kerja laut (PKL) Effendi Pasaribu melalui pesan instan ke MSP, David Surya. Kemudian David memberikan pendapatnya dari aspek hukum internasional seperti Konvensi International Labour Organization (ILO) mengenai seafarer, seaman dan hukum nasional Indonesia.
"Yakni perjanjian kerja laut, perdagangan orang dan perlindungan terhadap pekerja migran," ucap dia.
Baca:
14 WNI ABK Kapal Long Xing 629 Tiba di Bandara Soetta
David Surya kembali dihubungi Jong Chul Kim dan salah satu lawyer dari Law Firm di Korea Selatan yang mewakili Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI) pada Kamis, 7 Mei 2020 dan Jumat, 8 Mei 2020. Saat ini investigasi di Korea Selatan sedang berlangsung.
Terlapor yang masih dalam lidik diduga melakukan TPPO sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 atau Tindak Pidana Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017.
Indikasinya yakni PKL Effendi Pasaribu dibuat secara bertentangan dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42 Tahun 2016, yakni Pasal 11 ayat 1. PKL itu diduga belum diperiksa oleh perwakilan negara Indonesia di Tiongkok.
Kemudian, upah Effendi dalam PKL disebutkan sebesar USD300 per bulan, dengan uraian yang dikirim kepada keluarga USD150; USD100 disimpan oleh Pemilik Kapal Long Xing, USD50 diambil di atas kapal setelah sandar.
"Kemudian ada jaminan sebesar USD800 yang harus dibayarkan almarhum kepada recruitment agency di Indonesia," ucapnya.
Effendi juga harus mengeluarkan biaya USD600 yang dikurangi dari upah per bulan untuk membayar penggantian biaya dokumen kepada recruitment agency di Indonesia. Effendi terancam denda sebesar USD1.600 jika berhenti kerja dan USD5.000 jika pindah kapal.
"Sebagai warga negara Indonesia yang mendapatkan informasi langsung dari Jong Chul Kim dan telah menerima dokumen salinan PKL Effendi, maka MSP membuat laporan dugaan TPPO kepada polisi untuk dilakukan investigasi secara menyeluruh, agar peristiwa serupa ini tidak terjadi lagi di kemudian hari," katanya.
Ada tiga perusahaan yang bertanggung jawab atas keberangkatan empat ABK tersebut. Perusahaan itu yakni PT Lakemba Perkasa Bahari, PT Alfira Perdana Jaya (APJ), dan PT Karunia Bahari. Namun, Ricky belum mau menyebutkan nama perusahaan yang dilaporkan.
"Kami belum mau menyebutkan nama perusahaan khawatir kabur. Yang penting kami melaporkan. Jangan biarkan kematian empat orang ABK asal Indonesia ini menjadi sia-sia," tegas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)