Jakarta: Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Mohammad Choirul Anam menilai menetapkan Hari Perlindungan Pembela HAM bukan hal mudah. Penetapan itu berdasarkan hari pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib pada 2004.
"Memilih 7 September itu enggak mudah," kata Anam dalam acara 'Nonton Bareng dan Ngobrol Santai Virtual Mengenang Sosok Munir Said Thalib yang dibunuh 17 Tahun Silam', Selasa, 7 September 2021.
Menurut Anam, Komnas HAM butuh empat tahun untuk memperjuangkan hari itu. Dibutuhkan kajian dan informasi pendukung untuk memperkuat penetapan hari tersebut.
Salah satu elemen pendukung berdasarkan kehadiran Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM) lewat berbagai aktivitasnya. Keberlangsungan advokasi Munir juga menjadi elemen penting.
"Minimal pengetahuan informasi-informasi itu yang mendorong Komnas HAM memberanikan diri untuk memutuskan hari ini dalam konteks Hari Pembela HAM," ucap Anam.
Membongkar kasus Munir
Anam menilai mengungkap kasus pembunuhan terhadap Munir bukan soal bagaimana sikap pemerintah. Tetapi, butuh ruang bagaimana kerja-kerja menuntaskan kasus tersebut.
"Tapi subtansi bagaimana caranya kita bekerja agar memastikan tujuan kita tercapai, menuju ke sana harus kerja keras," kata Anam.
Baca: Pembunuhan Munir 7 September Jadi Hari Perlindungan Pembela HAM
Menurut dia, keberhasilan membongkar kasus Munir akan merepresentasikan Indonesia memiliki tata kelola keamanan yang baik. Khususnya, berkaitan dengan kasus pelanggaran HAM.
"Jadi kasus Munir ini menentukan tata kelola keamanan yang akuntabel dan transparan dan itu yang dibutuhkan sebagai prasyarat negara hukum yang profesional, demokrasi yang sehat," ucap Anam.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menuturkan butuh komitmen politik untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat terhadap Munir. Butuh komitmen kuat untuk mempertajam pengungkapan kasus, mulai dari mencari dokumen terkait hingga memeriksa kesaksian dari pihak terkait.
Asfin mengatakan pemerintah berhutang sejumlah hal terkait kasus Munir. Mulai dari belum terealisasinya upaya peninjauan kembali (PK) dan penghitungan ulang kedaluwarsa kasus itu.
YLBHI juga mendesak dibukanya temuan tim pencari fakta (TPF) kasus Munir. Lalu, menindaklanjuti temuan TPF tersebut.
"Membuka temuan TPF itu agar publik semakin luas bahwa ada indikasi pemanfaatan lembaga lembaga negara untuk kepentingan individu atau kelompok," ujar Asfin.
Selain itu, diperlukan pembentukan TPF baru. Khususnya menginvestigasi temuan dari fakta-fakta dua nama yang sudah masuk jeratan hukum, Pollycarpus Budihari Piryanto dan Mayjen TNI (Purn) Muchdi Purwoprandjono atau Muchdi PR.
"TPF baru yang bukan hasil dari TPF yang pertama itu sudah ditindaklanjuti sebagian besar, meskipun masih banyak yang belum (ditindaklanjuti) tapi perkembangan-perkembangan seperti pembebasan Muchdi PR juga diperlukan," ujar Asfin.
Jakarta: Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) Mohammad Choirul Anam menilai menetapkan Hari Perlindungan Pembela HAM bukan hal mudah. Penetapan itu berdasarkan hari pembunuhan aktivis HAM
Munir Said Thalib pada 2004.
"Memilih 7 September itu enggak mudah," kata Anam dalam acara 'Nonton Bareng dan Ngobrol Santai Virtual Mengenang Sosok Munir Said Thalib yang dibunuh 17 Tahun Silam', Selasa, 7 September 2021.
Menurut Anam, Komnas HAM butuh empat tahun untuk memperjuangkan hari itu. Dibutuhkan kajian dan informasi pendukung untuk memperkuat penetapan hari tersebut.
Salah satu elemen pendukung berdasarkan kehadiran Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM) lewat berbagai aktivitasnya. Keberlangsungan advokasi Munir juga menjadi elemen penting.
"Minimal pengetahuan informasi-informasi itu yang mendorong Komnas HAM memberanikan diri untuk memutuskan hari ini dalam konteks Hari Pembela HAM," ucap Anam.
Membongkar kasus Munir
Anam menilai mengungkap kasus pembunuhan terhadap Munir bukan soal bagaimana sikap pemerintah. Tetapi, butuh ruang bagaimana kerja-kerja menuntaskan kasus tersebut.
"Tapi subtansi bagaimana caranya kita bekerja agar memastikan tujuan kita tercapai, menuju ke sana harus kerja keras," kata Anam.
Baca:
Pembunuhan Munir 7 September Jadi Hari Perlindungan Pembela HAM
Menurut dia, keberhasilan membongkar kasus Munir akan merepresentasikan Indonesia memiliki tata kelola keamanan yang baik. Khususnya, berkaitan dengan kasus pelanggaran HAM.
"Jadi kasus Munir ini menentukan tata kelola keamanan yang akuntabel dan transparan dan itu yang dibutuhkan sebagai prasyarat negara hukum yang profesional, demokrasi yang sehat," ucap Anam.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menuturkan butuh komitmen politik untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat terhadap Munir. Butuh komitmen kuat untuk mempertajam pengungkapan kasus, mulai dari mencari dokumen terkait hingga memeriksa kesaksian dari pihak terkait.
Asfin mengatakan pemerintah berhutang sejumlah hal terkait kasus Munir. Mulai dari belum terealisasinya upaya peninjauan kembali (PK) dan penghitungan ulang kedaluwarsa kasus itu.
YLBHI juga mendesak dibukanya temuan tim pencari fakta (TPF) kasus Munir. Lalu, menindaklanjuti temuan TPF tersebut.
"Membuka temuan TPF itu agar publik semakin luas bahwa ada indikasi pemanfaatan lembaga lembaga negara untuk kepentingan individu atau kelompok," ujar Asfin.
Selain itu, diperlukan pembentukan TPF baru. Khususnya menginvestigasi temuan dari fakta-fakta dua nama yang sudah masuk jeratan hukum, Pollycarpus Budihari Piryanto dan Mayjen TNI (Purn) Muchdi Purwoprandjono atau Muchdi PR.
"TPF baru yang bukan hasil dari TPF yang pertama itu sudah ditindaklanjuti sebagian besar, meskipun masih banyak yang belum (ditindaklanjuti) tapi perkembangan-perkembangan seperti pembebasan Muchdi PR juga diperlukan," ujar Asfin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)