medcom.id, Jakarta: Komisi Yudisial (KY) dinilai kurang memiliki peran dalam seleksi pemilihan calon Hakim Agung. Bahkan, KY diibratkan hanya seperti kotak pos dari Makamah Agung (MA).
Hal ini diutarakan peneliti LeIP, Liza Farihah saat konferensi pers di Kantor Lembaga Bantuan Hukum, Jalan Diponogoro, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (27/3/2016).
Menurut Liza, KY saat ini hanya diminta mencarikan calon hakim agung dengan sepesifikasi yang telah ditentukan MA. Namun, KY tak diperkenankan untuk mendalami dan membandingkan berapa persentase antara kebutuhan hakim agung, beban perkara, dan jumlah perkara.
"Ketika enam bulan sebelum hakim agung pensiun, ada surat. Sebelum ada hakim agung, formasi hakim agung yang diminta Makamah Agung hanya karena ada hakim agung yang pensiun. MA tidak melihat adanya beban perkara yang dibutuhkan. Data sudah ada, tapi belum ada mekanisme Komisi Yudisial," Liza
Sebelumnya, MA membuat peraturan baru terkait dengan pemilihan hakim agung yang tercantum dalam SK Nomor 142/KMA/SK/IX/2011 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar di Makamah Agung.
Dalam aturan tersebut akhirnya hakim agung terdiri dari beberapa kamar Perdata, Pidana, Agama, Militer, dan TUN. Saat ini KY membuka seleksi calon Hakim Agung untuk formasi empat kamar perdata yakni satu untuk kamar pidana, satu untuk kamar agama, satu untuk kamar TUN, dan satu untuk kamar militer.
Menurut dia, seleksi saat ini hanya melihat adanya hakim agung yang pensiun, kemudian menggantinya dengan hakim agung yang baru. Seleksi calon hakim agung ini belum melihat kebutuhan setiap kamar.
Sebagai contoh, perbandingan jumlah hakim agung pada setiap kamar dengan jumlah beban perkara. Untuk kamar perdata jumlah hakim agung 15 orang sedangkan jumlah beban perkara 7.756. Jumlah ini tidak sebanding dengan kamar militer jumlah hakim saat ini empat orang dengan jumlah beban perkara 387.
"Bandingkan saja. Harusnya di kamar ini (militer) tidak usah open recruitment hakim lagi. Tambah dong yang di kamar perdata," ucap Liza.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PHSK) Miko Ginting menjelaskan, pemilihan hakim agung ini seharusnya dilakukan berdasarkan pada kredibilitas, kompetensi, dan integritas. Tapi, hal tersebut berlum terlibat.
Menurut Miko, KY saat ini belum secara masif menelusuri setiap calon-calon hakim agung. Padahal, Koalisi Pemantau Peradilan telah menemukan calon bermasalah yang lolos seleksi.
"Kami menemukan banyak calon-calon yang bermasalah tapi masih lolos seleksi. Kami harap calon-calon yang bermasalah ini bisa dipotong," kata Miko
Meski belum melakukan investigasi lebih jauh, Miko melanjutkan, ada beberapa nama yang memang seharusnya dihapus dari calon hakim agung.
"Tapi ada beberapa nama yang kami ketahui bahwa ada beberapa nama yang lolos adminitrasi padahal pernah terjerat kasus korupsi," tambah Miko.
Miko menilai KY saat ini hanya menjalankan apa yang diminta MA berdasarkan kebutuhan hakim agung. Tapi, KY tidak memetakan lebih jauh kebutuhan spesifiknya.
"Perlu dipetakan lebih jauh. Soal kompetensi, kami banyak lihat calon-calon yang tidak sesuai dengan kompetensi," pungkas Miko.
medcom.id, Jakarta: Komisi Yudisial (KY) dinilai kurang memiliki peran dalam seleksi pemilihan calon Hakim Agung. Bahkan, KY diibratkan hanya seperti kotak pos dari Makamah Agung (MA).
Hal ini diutarakan peneliti LeIP, Liza Farihah saat konferensi pers di Kantor Lembaga Bantuan Hukum, Jalan Diponogoro, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (27/3/2016).
Menurut Liza, KY saat ini hanya diminta mencarikan calon hakim agung dengan sepesifikasi yang telah ditentukan MA. Namun, KY tak diperkenankan untuk mendalami dan membandingkan berapa persentase antara kebutuhan hakim agung, beban perkara, dan jumlah perkara.
"Ketika enam bulan sebelum hakim agung pensiun, ada surat. Sebelum ada hakim agung, formasi hakim agung yang diminta Makamah Agung hanya karena ada hakim agung yang pensiun. MA tidak melihat adanya beban perkara yang dibutuhkan. Data sudah ada, tapi belum ada mekanisme Komisi Yudisial," Liza
Sebelumnya, MA membuat peraturan baru terkait dengan pemilihan hakim agung yang tercantum dalam SK Nomor 142/KMA/SK/IX/2011 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar di Makamah Agung.
Dalam aturan tersebut akhirnya hakim agung terdiri dari beberapa kamar Perdata, Pidana, Agama, Militer, dan TUN. Saat ini KY membuka seleksi calon Hakim Agung untuk formasi empat kamar perdata yakni satu untuk kamar pidana, satu untuk kamar agama, satu untuk kamar TUN, dan satu untuk kamar militer.
Menurut dia, seleksi saat ini hanya melihat adanya hakim agung yang pensiun, kemudian menggantinya dengan hakim agung yang baru. Seleksi calon hakim agung ini belum melihat kebutuhan setiap kamar.
Sebagai contoh, perbandingan jumlah hakim agung pada setiap kamar dengan jumlah beban perkara. Untuk kamar perdata jumlah hakim agung 15 orang sedangkan jumlah beban perkara 7.756. Jumlah ini tidak sebanding dengan kamar militer jumlah hakim saat ini empat orang dengan jumlah beban perkara 387.
"Bandingkan saja. Harusnya di kamar ini (militer) tidak usah open recruitment hakim lagi. Tambah dong yang di kamar perdata," ucap Liza.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PHSK) Miko Ginting menjelaskan, pemilihan hakim agung ini seharusnya dilakukan berdasarkan pada kredibilitas, kompetensi, dan integritas. Tapi, hal tersebut berlum terlibat.
Menurut Miko, KY saat ini belum secara masif menelusuri setiap calon-calon hakim agung. Padahal, Koalisi Pemantau Peradilan telah menemukan calon bermasalah yang lolos seleksi.
"Kami menemukan banyak calon-calon yang bermasalah tapi masih lolos seleksi. Kami harap calon-calon yang bermasalah ini bisa dipotong," kata Miko
Meski belum melakukan investigasi lebih jauh, Miko melanjutkan, ada beberapa nama yang memang seharusnya dihapus dari calon hakim agung.
"Tapi ada beberapa nama yang kami ketahui bahwa ada beberapa nama yang lolos adminitrasi padahal pernah terjerat kasus korupsi," tambah Miko.
Miko menilai KY saat ini hanya menjalankan apa yang diminta MA berdasarkan kebutuhan hakim agung. Tapi, KY tidak memetakan lebih jauh kebutuhan spesifiknya.
"Perlu dipetakan lebih jauh. Soal kompetensi, kami banyak lihat calon-calon yang tidak sesuai dengan kompetensi," pungkas Miko.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(AZF)