Demo penolakan HTI di Yogyakarta. Foto: Metrotvnews.com/Patricia Vicka.
Demo penolakan HTI di Yogyakarta. Foto: Metrotvnews.com/Patricia Vicka.

HAM juga Mengatur Pembatasan Kebebasan

Putri Anisa Yuliani • 22 Juli 2017 10:28
medcom.id, Jakarta: Staf Ahli Deputi V Kantor Staf Presiden Ifdhal Kasim mengatakan pembatasan kebebasan ada dalam aturan hak asasi manusia (HAM) jika tujuannya untuk melindungi rakyat yang lebih besar. Hal itu disebabkan ada hak-hak yang memang bisa dibatasi pemenuhannya seperti hak untuk berkumpul, berorganisasi, dan berserikat.
 
Sementara itu, lanjut Ifdhal, hak-hak mendasar lainnya tetap dijamin dan tidak bisa dibatasi pemenuhannya. "Seperti membatasi demokrasi untuk melindungi kepentingan demokrasi itu sendiri. Akan tetapi, dalam membatasi, kami tidak membatasi hak dia untuk menggugat," kata Ifdhal dalam diskusi berjudul Pro dan Kontra Perppu Nomor 2 Tahun 2017 dalam Tinjauan Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, kemarin.
 
Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas pun dinilainya bukan untuk konteks membatasi demokrasi, melainkan menjaga demokrasi semata.

Menurutnya, ada dua fungsi terbitnya perppu, yakni menata organisasi kemasyarakatan yang ada di Indonesia dan kedua untuk meningkatkan kualitas peran pengawasan dari pejabat tata usaha yang berwenang memberi dan mencabut izin.
 
"Perppu ini bertujuan menata kembali ormas ke dalam kerangka kehidupan bernegara dalam koridor ideologi bernegara sesuai dengan ideologi Pancasila dan UUD 45," kata mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia itu.
 

 
Ifdhal pun menegaskan perppu tidak menyasar ormas tertentu saja dan tidak otoriter. Hal itu disebabkan pihak yang menjalankan praktiknya adalah pejabat tata usaha dan bukan pemimpin negara.
 
Ifdhal juga menjelaskan ada dua jenis sanksi yang bisa diterapkan kepada ormas berdasarkan perppu, yakni sanksi administratif dan sanksi pidana. Sanksi pidana pun diupayakan menjadi langkah terakhir yang bisa diambil pemerintah jika suatu ormas terbukti melakukan pelanggaran berat.
 
Awasi implementasi
 
Ketua Program Studi Fakuktas Hukum Universitas Indonesia Fitra Arsil mengungkapkan implementasi perppu ini harus benar-benar diawasi dan tidak hanya itu. Isinya pun harusnya bisa dibatasi. Jika isi terlalu meluas, perppu bisa diartikan sebagai produk subjektif dan otoriter pemerintah dengan alasan kedaruratan.
 
"Di negara presidensial lain terutama Amerika Latin cukup rajin mengeluarkan perppu, tetapi bisa berimbas negatif pada pemerintahnya karena bisa berujung pada impeachment (pemakzulan) terhadap presiden. Sebab implementasinya tak diawasi dengan baik, prosedurnya tidak cukup darurat, dan materinya yang tak dibatasi, terlalu luas. Perppu tetaplah peraturan dan bukan undang-undang sehingga harus memiliki batasan," paparnya.
 
Hadir dalam diskusi yang sama, mantan anggota Pansus UU Ormas Indra. Ia membantah UU Ormas tidak memadai dalam mengatur serta mengawasi ormas.
 
Sebaliknya, ia mengatakan pemerintah berdalih UU Ormas tak memadai dengan membuat perppu yang justru materinya kurang komprehensif jika dibandingkan dengan UU Ormas.
 
Keberadaan perppu pun dinilai subjektif karena melompati proses pengadilan untuk menilai atau mengonfirmasi ideologi serta kegiatan yang dilakukan ormas. (P-4)
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan