medcom.id, Jakarta: Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis dua pegawai PT Melati Technofo Indonesia, Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus, 18 bulan penjara. Keduanya dinyatakan terbukti bersalah menyuap pejabat Badan Keamanan Laut (Bakamla). Selain penjara, mereka juga didenda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan.
"Menyatakan terdakwa terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi," kata Ketua Majelis Hakim Franky Tambun saat membaca putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu 17 Mei 2017.
Keduanya dinyatakan terbukti terlibat bersama-sama dan berkelanjutan menyuap pejabat Bakamla dalam pengadaan satelit monitoring. Mereka memberikan uang beberapa kali untuk memuluskan proses tender. Ada empat petinggi Bakamla yang mereka suap agar mendapatkan proyek senilai Rp222 miliar tersebut.
Eko Susilo Hadi, Deputi bidang Informasi, Hukum dan Kerja Sama Bakamla disuap sebesar SGD100 ribu, USD88,5 ribu, dan 10 ribu Euro. Eko juga ditunjuk sebagai kuasa pengguna anggaran Bakamla Tahun Anggaran 2016.
Direktur Data dan Informasi sekaligus pejabat pembuat komitmen (PPK) Bambang Udoyo disuap SGD105 ribu. Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan diberi uang sebesar SGD104,5 ribu.
Hardy dan Adami Okta juga terbukti mengalirkan fulus Rp120 juta ke Kepala Sub Bagian Tata Usaha Sestama Bakamla Tri Nana Wicaksono. Pemberian ini dilakukan agar PT Melati Technofo Indonesia dimenangkan dalam proyek pengadaan di Bakamla.
Ada beberapa unsur yang meringankan hukuman Hardy dan Adami. Salah satunya adalah peran kedua tersangka sebagai justice collaborator. Hukuman keduanya menjadi lebih ringan.
Unsur meringankan yang lain, yakni mereka dianggap sopan, dinilai kooperatif, mengakui perbuatan dan menyesal, serta membantu mengungkap pelaku lain yang berperan lebih besar.
Tidak mendukung program pemerintah memberantas korupsi menjadi unsur yang memberatkan hukuman keduanya.
Vonis yang dijatuhkan hakim ke Hardy dan Adami ini lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum di Komisi Pemberantasan Korupsi. Jaksa menuntut Adami dan Hardy masing-masing penjara 2 tahun dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Hardy dan Adami menyatakan menerima putusan hakim. Sementara itu jaksa menyatakan akan meminta waktu untuk mempelajari hasil putusan.
Adami dan Hardy dinyatakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/Rb1OOA2K" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis dua pegawai PT Melati Technofo Indonesia, Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus, 18 bulan penjara. Keduanya dinyatakan terbukti bersalah menyuap pejabat Badan Keamanan Laut (Bakamla). Selain penjara, mereka juga didenda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan.
"Menyatakan terdakwa terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi," kata Ketua Majelis Hakim Franky Tambun saat membaca putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu 17 Mei 2017.
Keduanya dinyatakan terbukti terlibat bersama-sama dan berkelanjutan menyuap pejabat Bakamla dalam pengadaan satelit monitoring. Mereka memberikan uang beberapa kali untuk memuluskan proses tender. Ada empat petinggi Bakamla yang mereka suap agar mendapatkan proyek senilai Rp222 miliar tersebut.
Eko Susilo Hadi, Deputi bidang Informasi, Hukum dan Kerja Sama Bakamla disuap sebesar SGD100 ribu, USD88,5 ribu, dan 10 ribu Euro. Eko juga ditunjuk sebagai kuasa pengguna anggaran Bakamla Tahun Anggaran 2016.
Direktur Data dan Informasi sekaligus pejabat pembuat komitmen (PPK) Bambang Udoyo disuap SGD105 ribu. Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan diberi uang sebesar SGD104,5 ribu.
Hardy dan Adami Okta juga terbukti mengalirkan fulus Rp120 juta ke Kepala Sub Bagian Tata Usaha Sestama Bakamla Tri Nana Wicaksono. Pemberian ini dilakukan agar PT Melati Technofo Indonesia dimenangkan dalam proyek pengadaan di Bakamla.
Ada beberapa unsur yang meringankan hukuman Hardy dan Adami. Salah satunya adalah peran kedua tersangka sebagai
justice collaborator. Hukuman keduanya menjadi lebih ringan.
Unsur meringankan yang lain, yakni mereka dianggap sopan, dinilai kooperatif, mengakui perbuatan dan menyesal, serta membantu mengungkap pelaku lain yang berperan lebih besar.
Tidak mendukung program pemerintah memberantas korupsi menjadi unsur yang memberatkan hukuman keduanya.
Vonis yang dijatuhkan hakim ke Hardy dan Adami ini lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum di Komisi Pemberantasan Korupsi. Jaksa menuntut Adami dan Hardy masing-masing penjara 2 tahun dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Hardy dan Adami menyatakan menerima putusan hakim. Sementara itu jaksa menyatakan akan meminta waktu untuk mempelajari hasil putusan.
Adami dan Hardy dinyatakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(FZN)