Jakarta: Penerbitan aturan khusus soal penghinaan terhadap presiden oleh Polri disebut sudah tepat. Aturan itu dibuat semata-mata untuk meredam konflik di tengah mewabahnya virus korona (covid-19).
"Aturan itu sudah memiliki legitimasi yang sah, yakni dalam konteks pelaksanaan Keppres No 11 Tahun 2020 (tentang Kedaruratan Kesehatan Masyarakat terkait Covid-19). Kesemuanya dalam rangka mencegah penyebaran wabah covid-19," kata pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, melalui keterangan tertulis, Jumat, 10 April 2020.
Polri menerbitkan Surat Telegram ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 pada Sabtu, 4 April 2020. Telegram tersebut berisi penanganan dan pedoman pelaksanaan tugas kepolisian yang berikatan dengan kejahatan di dunia siber selama pandemi virus korona (covid-19).
Beberapa tindak kejahatan yang menjadi fokus ialah penghinaan kepada penguasa, dalam hal ini presiden dan pejabat pemerintahan. Telegram itu mengacu pada Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal tersebut berbunyi, "Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau hadan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah." Selain itu, Polri juga akan fokus pada penyebaran hoaks terkait covid-19 dan kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi penyebaran penyakit tersebut.
Indriyanto menyatakan kebebasan berpendapat memang dijamin konstitusi, tapi tak pernah berlaku absolut. Menurutnya, kebebasan berpendapat itu tetap ada batasnya.
"Ada limitasi restriktif, baik secara hukum dengan regulasi, doktrin atau ilmu hukum, maupun yurisprudensi. Tak terkecuali restriksi etika sosial," kata eks komisioner KPK itu.
Ia mafhum Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 ayat 1 KUHP tentang penghinaan terhadap presiden, inskonstitusional. Tapi, lanjutnya, MK tak mencabut Pasal 207 KUHP.
"Penghinaan yang dilarang pada Pasal 207 KUHP adalah bentuk 'formeele belediging'. Suatu pernyataan yang diutarakan secara kasar, tidak sopan, tidak konstruktif, tidak obyektif, dan tidak zakelijk sifatnya," kata Indriyanto.
Baca: Penghina Presiden Jokowi Ditangkap
Penghinaan formal seperti itu, menurutnya, menjadi penekanan dalam aturan khusus yang dikeluarkan Polri. "Facet hukum tata negara dan hukum pidana membenarkan bahwa hukum memberi perlindungan terhadap simbol-simbol kenegaraan dari segala perbuatan yang melanggar hukum, termasuk penghinaan terhadap presiden sebagai simbol kekuasaan negara," jelas dia.
Amnesty Internasional Indonesia mengkritik dikeluarkannya aturan khusus tersebut. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid bahkan meminta aturan itu dicabut.
"Atas nama penghinaan presiden dan pejabat negara, telegram itu berpotensi memicu pelanggaran kemerdekaan berpendapat yang juga dijamin oleh Peraturan Internal Kapolri sebelumnya. Amnesty mendesak pihak berwenang untuk menarik surat telegram tersebut," kata Usman, Senin, 6 April 2020.
Jakarta: Penerbitan aturan khusus soal penghinaan terhadap presiden oleh Polri disebut sudah tepat. Aturan itu dibuat semata-mata untuk meredam konflik di tengah mewabahnya virus korona (covid-19).
"Aturan itu sudah memiliki legitimasi yang sah, yakni dalam konteks pelaksanaan Keppres No 11 Tahun 2020 (tentang Kedaruratan Kesehatan Masyarakat terkait Covid-19). Kesemuanya dalam rangka mencegah penyebaran wabah covid-19," kata
pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, melalui keterangan tertulis, Jumat, 10 April 2020.
Polri menerbitkan Surat Telegram ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 pada Sabtu, 4 April 2020. Telegram tersebut berisi penanganan dan pedoman pelaksanaan tugas kepolisian yang berikatan dengan kejahatan di dunia siber selama pandemi virus korona (covid-19).
Beberapa tindak kejahatan yang menjadi fokus ialah penghinaan kepada penguasa, dalam hal ini presiden dan pejabat pemerintahan. Telegram itu mengacu pada Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal tersebut berbunyi, "Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau hadan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah." Selain itu, Polri juga akan fokus pada penyebaran hoaks terkait covid-19 dan kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi penyebaran penyakit tersebut.
Indriyanto menyatakan kebebasan berpendapat memang dijamin konstitusi, tapi tak pernah berlaku absolut. Menurutnya, kebebasan berpendapat itu tetap ada batasnya.
"Ada limitasi restriktif, baik secara hukum dengan regulasi, doktrin atau ilmu hukum, maupun yurisprudensi. Tak terkecuali restriksi etika sosial," kata eks komisioner KPK itu.
Ia mafhum Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 ayat 1 KUHP tentang penghinaan terhadap presiden, inskonstitusional. Tapi, lanjutnya, MK tak mencabut Pasal 207 KUHP.
"Penghinaan yang dilarang pada Pasal 207 KUHP adalah bentuk '
formeele belediging'. Suatu pernyataan yang diutarakan secara kasar, tidak sopan, tidak konstruktif, tidak obyektif, dan tidak
zakelijk sifatnya," kata Indriyanto.
Baca:
Penghina Presiden Jokowi Ditangkap
Penghinaan formal seperti itu, menurutnya, menjadi penekanan dalam aturan khusus yang dikeluarkan Polri. "
Facet hukum tata negara dan hukum pidana membenarkan bahwa hukum memberi perlindungan terhadap simbol-simbol kenegaraan dari segala perbuatan yang melanggar hukum, termasuk penghinaan terhadap presiden sebagai simbol kekuasaan negara," jelas dia.
Amnesty Internasional Indonesia mengkritik dikeluarkannya aturan khusus tersebut. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid bahkan meminta aturan itu dicabut.
"Atas nama penghinaan presiden dan pejabat negara, telegram itu berpotensi memicu pelanggaran kemerdekaan berpendapat yang juga dijamin oleh Peraturan Internal Kapolri sebelumnya. Amnesty mendesak pihak berwenang untuk menarik surat telegram tersebut," kata Usman, Senin, 6 April 2020.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)