Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan PT Merial Esa (ME) selaku korporasi sebagai tersangka baru atas kasus dugaan suap pengurusan anggaran pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) tahun anggaran 2016.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, penetapan PT ME sebagai tersangka berdasarkan pengembangan dari penanganan perkara dugaan suap terhadap Fayakhun Andriadi, anggota DPR RI periode 2014-2019.
"Berdasarkan bukti permulaan yang cukup, KPK membuka penyidikan baru dan menetapkan sebuah korporasi sebagai tersangka, yakni PT ME," ujar Alex dalam jumpa pers di Gedung KPK Merah Putih, Jakarta, Jumat, 1 Maret 2019.
PT ME diduga secara bersama-sama atau membantu memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada penyelenggara negara terkait dengan proses pembahasan dan pengesahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA-K/L) dalam APBNP 2016 yang akan diberikan kepada Bakamla.
Baca juga: Bakamla Minta KPK Awasi Pembuatan Pusat Komando
Penyidikan awal perkara ini dimulai pascaoperasi tangkap tangan pada 14 Desember 2016 terhadap sejumlah orang, yaitu pejabat di Bakamla dan pihak swasta. Saat itu KPK mengamankan uang Rp2 miliar dan menetapkan empat tersangka yakni, Deputi Informasi Hukum dan Kerjasama Bakamla Eko Susilo Hadi, Direktur PT ME Fahmi Darmawansyah, Hardy Stefanus, dan Muhammad Adami Okta dari pihak swasta.
"Penanganan tersangka ini tidak terhenti pada empat tersebut dan kemudian setelah menemukan adanya dugaan suap terkait pengaturan anggaran di DPR, maka KPK memproses tiga orang lainnya sebagai tersangka," jelas Alex.
Tiga orang tersebut yakni, Fayakhun Andriadi anggota DPR periode 2014-2019, Nofel Hasan Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla, Erwin Sya'af Arief Manajer Direktur PT Rodhe dan Schwarz Indonesia.
PT ME disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tlndak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-l KUHP atau Pasal 56 KUHP.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan PT Merial Esa (ME) selaku korporasi sebagai tersangka baru atas kasus dugaan suap pengurusan anggaran pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) tahun anggaran 2016.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, penetapan PT ME sebagai tersangka berdasarkan pengembangan dari penanganan perkara dugaan suap terhadap Fayakhun Andriadi, anggota DPR RI periode 2014-2019.
"Berdasarkan bukti permulaan yang cukup, KPK membuka penyidikan baru dan menetapkan sebuah korporasi sebagai tersangka, yakni PT ME," ujar Alex dalam jumpa pers di Gedung KPK Merah Putih, Jakarta, Jumat, 1 Maret 2019.
PT ME diduga secara bersama-sama atau membantu memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada penyelenggara negara terkait dengan proses pembahasan dan pengesahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA-K/L) dalam APBNP 2016 yang akan diberikan kepada Bakamla.
Baca juga:
Bakamla Minta KPK Awasi Pembuatan Pusat Komando
Penyidikan awal perkara ini dimulai pascaoperasi tangkap tangan pada 14 Desember 2016 terhadap sejumlah orang, yaitu pejabat di Bakamla dan pihak swasta. Saat itu KPK mengamankan uang Rp2 miliar dan menetapkan empat tersangka yakni, Deputi Informasi Hukum dan Kerjasama Bakamla Eko Susilo Hadi, Direktur PT ME Fahmi Darmawansyah, Hardy Stefanus, dan Muhammad Adami Okta dari pihak swasta.
"Penanganan tersangka ini tidak terhenti pada empat tersebut dan kemudian setelah menemukan adanya dugaan suap terkait pengaturan anggaran di DPR, maka KPK memproses tiga orang lainnya sebagai tersangka," jelas Alex.
Tiga orang tersebut yakni, Fayakhun Andriadi anggota DPR periode 2014-2019, Nofel Hasan Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla, Erwin Sya'af Arief Manajer Direktur PT Rodhe dan Schwarz Indonesia.
PT ME disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tlndak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-l KUHP atau Pasal 56 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(HUS)