Jakarta: Tiga terdakwa kasus suap hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan, Sumatera Utara batal menjalani sidang putusan atau vonis. Majelis hakim menunda dengan beberapa pertimbangan.
Ketiga terdakwa yang menghadapi vonis ialah pengusaha Tamin Sukardi selaku pemberi suap. Kemudian Panitera Pengganti Pengadilan Tipikor Medan, Helpandi dan orang dekat Tamin, Hadi Setiawan alias Erik yang diduga sebagai perantara suap.
Ketua Majelis Hakim Rosmina yang menangani terdakwa Tamin dan Helpandi mengatakan, alasan ditundanya sidang lantaran waktu telah larut malam. Majelis hakim mempertimbangkan aspek kemanusiaan, karena Tamin sudah berusia lanjut.
"Dari segi kemanusiaan dan segi kesehatan terdakwa (Tamin), karena sudah tengah malam begini. Kami masih kuat, tapi tidak mau ngambil resiko, oleh karenanya persidangan ini kita tunda ya," kata Hakim Rosmina di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat dini hari, 29 Maret 2019.
Majelis hakim juga menunda sidang vonis Helpandi dan Hadi Setiawan. Alasan penundaan sama, yakni waktu yang sudah terlalu larut malam.
Hakim Saifudin Zuhri yang menangani terdakwa Hadi Setiawan meminta agar sidang berikutnya dijadwalkan lebih awal. Dia meminta agar Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) dan penasehat hukum untuk datang pagi.
"Putusan tidak bisa dibacakan hari ini, kami tunda hingga pekan depan, Kamis, 4 April 2019," ujar Hakim Saifudin.
JPU KPK sebelumnya menuntut Tamin dengan hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan. Sementara Hadi dituntut hukuman lima tahun enam bulan penjara serta denda Rp350 juta subsider empat bulan kurungan.
Kemudian Helpandi dituntut delapan tahun penjara serta denda Rp320 juta subsidair lima bulan kurungan. Selain itu, jaksa meminta permohonan justice collaborator (JC) Helpandi tak dikabulkan.
Tamin diyakini menyuap hakim PN Medan seluruhnya berjumlah SGD280 ribu. Hakim Merry Purba selaku hakim adhoc yang menangani perkara Tamin, menerima SGD150 ribu.
Selain Merry, Tamin juga diyakini berencana memberikan suap sebanyak SGD130 ribu kepada Sontan Merauke Sinaga selaku hakim anggota I.
Uang itu diberikan melalui Hadi ke Helpandi pada 24 Agustus 2018 di Hotel JW Marriott Medan. Kemudian uang tersebut baru diserahkan ke hakim Merry di sebuah show room mobil Honda Medan.
Hadi memberikan uang SGD280 ribu dalam amplop coklat yang berasal dari Tamin kepada Helpandi. Kemudian Helpandi memasukkan uang dalam amplop cokelat tersebut ke dalam tas kerja dan membawanya pulang menggunakan mobil Innova Hitam nomor polisi BK 301 UL.
Suap tersebut bertujuan agar Merry dan hakim Sontan, memutus perkara Tamin Sukardi tidak terbukti bersalah di Pengadilan Negeri Medan.
Kala itu, Tamin menjadi terdakwa perkara korupsi lahan bekas hak guna usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II. Tamin menjual 74 dari 126 hektare tanah negara bekas HGU PTPN II kepada PT Agung Cemara Realty (ACR) sebesar Rp236,2 miliar dan baru dibayar Rp132,4 miliar.
Merry adalah hakim yang berbeda pendapat dibanding hakim lainnya atau diistilahkan dissenting opinion. Dalam putusan yang dibacakan pada 27 Agustus 2018, hakim Wahyu Prasetyo Wibowo dan hakim Sontan menyatakan Tamin terbukti bersalah melakukan korupsi.
Perbuatan Tamin dan Hadi dinilai melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sementara, Helpandi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Jakarta: Tiga terdakwa kasus suap hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan, Sumatera Utara batal menjalani sidang putusan atau vonis. Majelis hakim menunda dengan beberapa pertimbangan.
Ketiga terdakwa yang menghadapi vonis ialah pengusaha Tamin Sukardi selaku pemberi suap. Kemudian Panitera Pengganti Pengadilan Tipikor Medan, Helpandi dan orang dekat Tamin, Hadi Setiawan alias Erik yang diduga sebagai perantara suap.
Ketua Majelis Hakim Rosmina yang menangani terdakwa Tamin dan Helpandi mengatakan, alasan ditundanya sidang lantaran waktu telah larut malam. Majelis hakim mempertimbangkan aspek kemanusiaan, karena Tamin sudah berusia lanjut.
"Dari segi kemanusiaan dan segi kesehatan terdakwa (Tamin), karena sudah tengah malam begini. Kami masih kuat, tapi tidak mau ngambil resiko, oleh karenanya persidangan ini kita tunda ya," kata Hakim Rosmina di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat dini hari, 29 Maret 2019.
Majelis hakim juga menunda sidang vonis Helpandi dan Hadi Setiawan. Alasan penundaan sama, yakni waktu yang sudah terlalu larut malam.
Hakim Saifudin Zuhri yang menangani terdakwa Hadi Setiawan meminta agar sidang berikutnya dijadwalkan lebih awal. Dia meminta agar Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) dan penasehat hukum untuk datang pagi.
"Putusan tidak bisa dibacakan hari ini, kami tunda hingga pekan depan, Kamis, 4 April 2019," ujar Hakim Saifudin.
JPU KPK sebelumnya menuntut Tamin dengan hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan. Sementara Hadi dituntut hukuman lima tahun enam bulan penjara serta denda Rp350 juta subsider empat bulan kurungan.
Kemudian Helpandi dituntut delapan tahun penjara serta denda Rp320 juta subsidair lima bulan kurungan. Selain itu, jaksa meminta permohonan justice collaborator (JC) Helpandi tak dikabulkan.
Tamin diyakini menyuap hakim PN Medan seluruhnya berjumlah SGD280 ribu. Hakim Merry Purba selaku hakim adhoc yang menangani perkara Tamin, menerima SGD150 ribu.
Selain Merry, Tamin juga diyakini berencana memberikan suap sebanyak SGD130 ribu kepada Sontan Merauke Sinaga selaku hakim anggota I.
Uang itu diberikan melalui Hadi ke Helpandi pada 24 Agustus 2018 di Hotel JW Marriott Medan. Kemudian uang tersebut baru diserahkan ke hakim Merry di sebuah show room mobil Honda Medan.
Hadi memberikan uang SGD280 ribu dalam amplop coklat yang berasal dari Tamin kepada Helpandi. Kemudian Helpandi memasukkan uang dalam amplop cokelat tersebut ke dalam tas kerja dan membawanya pulang menggunakan mobil Innova Hitam nomor polisi BK 301 UL.
Suap tersebut bertujuan agar Merry dan hakim Sontan, memutus perkara Tamin Sukardi tidak terbukti bersalah di Pengadilan Negeri Medan.
Kala itu, Tamin menjadi terdakwa perkara korupsi lahan bekas hak guna usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II. Tamin menjual 74 dari 126 hektare tanah negara bekas HGU PTPN II kepada PT Agung Cemara Realty (ACR) sebesar Rp236,2 miliar dan baru dibayar Rp132,4 miliar.
Merry adalah hakim yang berbeda pendapat dibanding hakim lainnya atau diistilahkan dissenting opinion. Dalam putusan yang dibacakan pada 27 Agustus 2018, hakim Wahyu Prasetyo Wibowo dan hakim Sontan menyatakan Tamin terbukti bersalah melakukan korupsi.
Perbuatan Tamin dan Hadi dinilai melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sementara, Helpandi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)