medcom.id, Jakarta: Andro Supriyanto, salah satu pengamen yang jadi korban salah tangkap polisi. Imbas salah tangkap itu, rupanya bukan hanya dirasakan Andro, tapi juga sang ibu, Marni.
Wanita paruh baya itu nampak setia mendampingi Andro di setiap persidangan. Marni selalu hadir di ruang sidang. Mulutnya tak henti komat-kamit di setiap persidangan anaknya. Usianya yang sudah 55 tahun, tak menghalangi langkahnya mendampingi sang anak menjalani proses hukum.
Marni biasanya rutin berdagang baju di pasar kaget. Tapi rutinitas itu rela dia tinggalkan demi menguatkan sang anak menghadapi proses hukum.
"Selama ngurus dia (Andro) pemasukan enggak ada. Waktu juga kesita, karena waktu kesita itu pemasukan enggak ada," cerita Marni di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (9/8/2016).
Marni juga tak absen dalam sidang putusan gugatan anaknya pada kepolisian dan kejaksaan, Selasa 9 Agustus. Mengenakan pakaian hitam bermotif batik dengan setelan kerudung hitam, Marni terus menunduk selama hakim membacakan putusan gugatan. Dia menghela nafas dalam, saat hakim tunggal Totok Sapti Indarto menyatakan mengabulkan sebagian gugatan anaknya.
Puas tidak puas, Marni harus menerima putusan hakim. Bagi dia, yang penting ada keadilan untuk anaknya. "Setidaknya diakui deh. Dari dulu ibu mikir enggak mungkin semuanya dikabulin," ungkap dia.
Anaknya bisa keluar bui, sudah lebih dari cukup buat Marni. Uang ganti rugi Rp36 juta yang ditetapkan hakim buat Andro pun cuma ibarat bonus atas keteguhan hatinya menghadapi cobaan berat tiga tahun terakhir.
Marni berharap uang ganti rugi nanti bisa dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Andro buat membangun usaha. Dia tak mau anaknya itu turun lagi ke jalan dan mengamen.
"Soalnya kemarin (usai keluar dari penjara) enggak dapat kerjaan lagi. Akhirnya ngamen lagi lah dia," kata Marni.
Perlakuan yang didapati Marni Akibat Polisi Salah Tangkap
Kisah pilu Marni bukan cuma karena mengawal sang anak menjalani proses hukum. Tapi juga soal kisah hidup yang harus dijalani usai kasus yang menimpa anaknya.
Setelah Andro ditangkap polisi, dipenjara, sampai menjalani proses sidang gugatan, cibiran dan pandangan sinis jadi makanan saban hari bagi Marni. Cap negatif kadung melekat buat keluarga dari lingkungan tempat dia tinggal.
Usiran halus juga pernah didapati Marni dari warga dan sang pemilik kontrakan. Dia pun memilih minggat dari kontrakannya di Kampung Poncol, Cipadu, Bogor, ke daerah Kampung Gaga, Bogor.
"Alasan (usir) halusnya sih mau dibetulin katanya kontrakannya," kata Marni.
Masa-masa berat buat Marni selama anaknya menjalani proses hukum bukan cuma soal cibiran tetangga dan orang terdekat. Wanita paruh baya itu pun harus merogoh kantongnya lebih dalam selama mendampingi sang anak di pengadilan.
"Pas selama sidang, pulsa saja Rp200 ribu habis cuma seminggu. Sekarang (pulsa) sehari bisa habis Rp20 ribu," ungkap Marni.
Ongkos makan dan biaya pulang pergi lokasi sidang sudah tak bisa lagi dihitung Marni. Apalagi, dia harus rela tak berdagang baju demi mendampingi sang anak. Keyakinan kalau Andro tak bersalah, jadi satu-satunya yang menguatkan Marni menjalani hidup.
Keyakinan dan doa-doa Marni terkabul. Putusan banding di Pengadilan Tinggi menyatakan kalau anaknya tidak bersalah dan mesti dibebaskan dari segala dakwaan. Putusan itu juga diperkuat oleh putusan kasasi di Mahkamah Agung.
Marni juga mendukung anaknya mengajukan gugantan ganti rugi ke polisi dan kejaksaan. Marni yakin masih ada keadilan di negeri ini buat sang anak. Terbukti, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan sebagian gugatan ganti rugi Andro dan rekannya yang juga senasib, Nurdin Priyanto. Marni pun bisa lebih bernafas lega.
Andro dan Nurdin jadi korban salah tangkap polisi atas kasus pembunuhan terhadap Dicky Maulana pada 30 Juni 2013. Keduanya ditangkap dan didakwa membunuh Dicky. Kedua pria yang biasa ngamen di Cipulir Jakarta Selatan itu juga sekitar delapan bulan mesti merasakan dinginnya lantai penjara.
Selain Andro dan Nurdin, polisi juga menangkap empat pengamen lain yang masih di bawah umur atas kasus yang sama. Keempatnya yakni FP (16), F (14), BF (16), dan AP (14).
Pada 1 Juli 2013, Andro dan Nurdin divonis tujuh tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sementara, keempat tersangka lain divonis tiga hingga empat tahun penjara.
medcom.id, Jakarta: Andro Supriyanto, salah satu pengamen yang jadi korban salah tangkap polisi. Imbas salah tangkap itu, rupanya bukan hanya dirasakan Andro, tapi juga sang ibu, Marni.
Wanita paruh baya itu nampak setia mendampingi Andro di setiap persidangan. Marni selalu hadir di ruang sidang. Mulutnya tak henti komat-kamit di setiap persidangan anaknya. Usianya yang sudah 55 tahun, tak menghalangi langkahnya mendampingi sang anak menjalani proses hukum.
Marni biasanya rutin berdagang baju di pasar kaget. Tapi rutinitas itu rela dia tinggalkan demi menguatkan sang anak menghadapi proses hukum.
"Selama ngurus dia (Andro) pemasukan enggak ada. Waktu juga kesita, karena waktu kesita itu pemasukan enggak ada," cerita Marni di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (9/8/2016).
Marni juga tak absen dalam sidang putusan gugatan anaknya pada kepolisian dan kejaksaan, Selasa 9 Agustus. Mengenakan pakaian hitam bermotif batik dengan setelan kerudung hitam, Marni terus menunduk selama hakim membacakan putusan gugatan. Dia menghela nafas dalam, saat hakim tunggal Totok Sapti Indarto menyatakan mengabulkan sebagian gugatan anaknya.
Puas tidak puas, Marni harus menerima putusan hakim. Bagi dia, yang penting ada keadilan untuk anaknya. "Setidaknya diakui deh. Dari dulu ibu mikir enggak mungkin semuanya dikabulin," ungkap dia.
Anaknya bisa keluar bui, sudah lebih dari cukup buat Marni. Uang ganti rugi Rp36 juta yang ditetapkan hakim buat Andro pun cuma ibarat bonus atas keteguhan hatinya menghadapi cobaan berat tiga tahun terakhir.
Marni berharap uang ganti rugi nanti bisa dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Andro buat membangun usaha. Dia tak mau anaknya itu turun lagi ke jalan dan mengamen.
"Soalnya kemarin (usai keluar dari penjara) enggak dapat kerjaan lagi. Akhirnya ngamen lagi lah dia," kata Marni.
Perlakuan yang didapati Marni Akibat Polisi Salah Tangkap
Kisah pilu Marni bukan cuma karena mengawal sang anak menjalani proses hukum. Tapi juga soal kisah hidup yang harus dijalani usai kasus yang menimpa anaknya.
Setelah Andro ditangkap polisi, dipenjara, sampai menjalani proses sidang gugatan, cibiran dan pandangan sinis jadi makanan saban hari bagi Marni. Cap negatif kadung melekat buat keluarga dari lingkungan tempat dia tinggal.
Usiran halus juga pernah didapati Marni dari warga dan sang pemilik kontrakan. Dia pun memilih minggat dari kontrakannya di Kampung Poncol, Cipadu, Bogor, ke daerah Kampung Gaga, Bogor.
"Alasan (usir) halusnya sih mau dibetulin katanya kontrakannya," kata Marni.
Masa-masa berat buat Marni selama anaknya menjalani proses hukum bukan cuma soal cibiran tetangga dan orang terdekat. Wanita paruh baya itu pun harus merogoh kantongnya lebih dalam selama mendampingi sang anak di pengadilan.
"Pas selama sidang, pulsa saja Rp200 ribu habis cuma seminggu. Sekarang (pulsa) sehari bisa habis Rp20 ribu," ungkap Marni.
Ongkos makan dan biaya pulang pergi lokasi sidang sudah tak bisa lagi dihitung Marni. Apalagi, dia harus rela tak berdagang baju demi mendampingi sang anak. Keyakinan kalau Andro tak bersalah, jadi satu-satunya yang menguatkan Marni menjalani hidup.
Keyakinan dan doa-doa Marni terkabul. Putusan banding di Pengadilan Tinggi menyatakan kalau anaknya tidak bersalah dan mesti dibebaskan dari segala dakwaan. Putusan itu juga diperkuat oleh putusan kasasi di Mahkamah Agung.
Marni juga mendukung anaknya mengajukan gugantan ganti rugi ke polisi dan kejaksaan. Marni yakin masih ada keadilan di negeri ini buat sang anak. Terbukti, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan sebagian gugatan ganti rugi Andro dan rekannya yang juga senasib, Nurdin Priyanto. Marni pun bisa lebih bernafas lega.
Andro dan Nurdin jadi korban salah tangkap polisi atas kasus pembunuhan terhadap Dicky Maulana pada 30 Juni 2013. Keduanya ditangkap dan didakwa membunuh Dicky. Kedua pria yang biasa ngamen di Cipulir Jakarta Selatan itu juga sekitar delapan bulan mesti merasakan dinginnya lantai penjara.
Selain Andro dan Nurdin, polisi juga menangkap empat pengamen lain yang masih di bawah umur atas kasus yang sama. Keempatnya yakni FP (16), F (14), BF (16), dan AP (14).
Pada 1 Juli 2013, Andro dan Nurdin divonis tujuh tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sementara, keempat tersangka lain divonis tiga hingga empat tahun penjara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DRI)