Anggota Komisi III DPR RI Teuku Taufiqulhadi. Foto: MI/Susanto
Anggota Komisi III DPR RI Teuku Taufiqulhadi. Foto: MI/Susanto

Perluasan Pasal Perzinaan tak Berkorelasi dengan Persekusi

Intan Yunelia • 04 Mei 2018 01:17
Jakarta: Anggota Komisi III DPR RI Teuku Taufiqulhadi menyebut delik pasal perzinaan pada pasal 484 ayat 1 huruf e rancangan kitab Undang-undang hukum pidana (RKUHP) berampak pada persekusi yang keliru. Padahal, dalam pasal itu dijelaskan pihak-pihak yang berhak membuat aduan soal perzinaan.
 
"Di antaranya hanya terbatas pada suami, istri, orangtua dan anak seperti diatur Pasal 460 ayat 2 RKUHP," kata Taufiq melalui keterangan tertulisnya, Kamis, 3 Mei 2018.
 
Politisi Partai NasDem itu mengatakan persekusi bukan implikasi dari perluasan zina. Melainkan bagaimana pemerintah memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang kesadaran perbuatan melanggar hukum itu sendiri. 

Tindakan main hakim sendiri atau persekusi terhadap pelaku perzinaan, sudah diatur dalam Pasal 277 ayat 1 yang menyebut setiap orang yang  masuk dengan memaksa ke dalam rumah, ruangan, atau pekarangan tertutup yang dipergunakan oleh orang lain dengan melawan hukum atau yang sudah berada di dalamnya secara melawan hukum, tidak segera pergi meninggalkan tempat tersebut atas permintaan orang yang berhak atau suruhannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.
 
"Orang lain yang notabene bukan pihak yang berwenang untuk mengadukan kasus perzinaan dapat dikenakan Pasal 277 ayat (1) RKUHP tersebut, karena telah menggangu ketertiban dan ketentraman umum," jelas Taufiq.
 
Taufiq mengatakan, kekhawatiran sejumlah pihak akan maraknya tindakan persekusi setelah RKUHP ini disahkan tak mendasar. Sebab, tindakan persekusi sudah ada jauh sebelum pembahasan delik perzinaan di RKUHP yang baru. 
 
"Itu artinya adalah terjadi pembiaran kesalahan berpikir dalam masyarakat, baik tentang mekanisme penegakan hukum kasus perzinaan maupun persekusi itu sendiri," jelas Taufiq.
 
Perluasan delik zina sebagaimana tercantum dalam Pasal 484 ayat 1 huruf e RKUHP, kata Taufiq sejatinya mengakomodasi aspirasi sebagaian besar masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
 
Menurutnya, memasukan unsur pemahaman masyarakat Indonesia yang sebagian besar muslim ini tidaklah salah. Perluasan delik zina dalam RKUHP erat pengaruhnya dari aspek hukum Islam, yang mana melihat zina tidak hanya berlaku bagi mereka yang terikat perkawinan, melainkan juga bagi mereka yang tidak terikat perkawinan.
 
"Dalam ketentuan butir ke- 8 Resolusi Seminar hukum nasional ke-I Tahun 1963, disebutkan bahwa, unsur-unsur hukum agama dan hukum adat dijalinkan dalam RKUHP," pungkasnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan