Ilustrasi hukuman. Medcom.id
Ilustrasi hukuman. Medcom.id

Kejar Kerugian Negara Ketimbang Mengumbar Hukuman Mati Koruptor

Fachri Audhia Hafiez • 31 Oktober 2021 23:51
Jakarta: Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menilai penegak hukum lebih baik mengejar aset koruptor yang menyebabkan kerugian keuangan negara. Hal itu lebih penting ketimbang mengumbar wacana hukuman mati pelaku korupsi.
 
Hal itu merespons pernyataan Jaksa Agung, ST Burhanuddin, yang membuka kemungkinan penerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi. Khususnya kepada terpidana kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya dan PT ASABRI yang menimbulkan kerugian keuangan negara yang besar.
 
"Daripada menyampaikan sesuatu yang belum jelas, lebih baik sumber daya yang ada itu digunakan untuk mengejar pengembalian kerugian keuangan negara," kata Zaenur kepada Medcom.id, Minggu, 31 Oktober 2021.

Zaenur menyebut penegak hukum belum optimal mengembalikan aset negara yang digunakan koruptor. Hal itu mestinya menjadi fokus dalam upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi.
 
"Kejaksaan juga belum dapat melakukan eksekusi terhadap aset-aset yang dinikmati oleh para pelaku, yang disimpan di banyak tempat yang itu harus ditarik," ujar Zaenur.
 
Dia menuturkan upaya efektif memberikan efek jera pada koruptor adalah melalui pemiskinan. Namun, hal ini perlu diatur tegas melalui satu instrumen hukum yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.
 
(Baca: ICW Menentang Wacana Hukuman Mati untuk Koruptor)
 
"Itulah yang kami terus dorong untuk segera disahkan oleh DPR dan presiden. Karena dengan RUU Perampasan Aset itu maka calon koruptor itu akan berpikir dua kali dan itu lebih memberi efek jera pemiskinan itu," tegas Zaenur.
 
Sementara itu, penerapan pidana mati perlu melihat instrumen Pasal 2 Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pidana mati dapat diancam pada pelaku tindak pidana korupsi sebagai pemberatan dengan persyaratan.
 
Pertama, korupsi terjadi dalam situasi bencana alam nasional. Kedua, dilakukan residivis atau pengulangan tindak pidana. Ketiga, dalam kondisi krisis ekonomi atau krisis keuangan.
 
"Jadi kalau ada salah satu dari kondisi tersebut terpenuhi maka pidana mati dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi," ucap Zaenur.
 
Di sisi lain, beberapa pihak masih menganggap pidana mati bagi pelaku korupsi masih relatif sensitif. Karena salah satunya berkaitan dengan hak asasi manusia (HAM).
 
"Selain itu, tidak ada korelasinya antara penerapan hukuman mati dan berkurangnya angka korupsi sebagaimana riset-riset di berbagai negara termasuk di China," kata Zaenur.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan