medcom.id, Jakarta: Anggota Komisi III DPR Muhammad Nasir Djamil mendengar informasi bahwa Labora Sitorus masih berstatus anggota Polri. Hal itu diduga membuat Kepolisian ragu mengeksekusi Labora.
Nasir Djamil mengapresiasi langkah Kementerian Hukum dan HAM memindahkan Labora dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sorong, Papua Barat, ke LP Cipinang, Jakarta Timur. Sebelum diputuskan dipindahkan ke LP Cipinang, ada usulan mengurung Labora di LP Gunung Sindur, Bogor.
Nasir tidak mempermasalahkan di mana Labora ditahan. Menurut anggota Fraksi PKS itu, yang paling penting adalah pengawasan.
"Bisa saja karena di Sorong jauh dari pusat kekuasaan dan pengawasan, dia bisa semena-mena, dia bisa melakukan apa saja. Apalagi dia masih punya uang," kata Nasir dalam program Primetime News Metrot TV, Senin (7/3//2016).
Labora adalah terpidana kasus pencucian uang dan pembalakan liar di Sorong. Mahkamah Agung memvonis Labora 15 tahun penjara. Namun, Labora tidak menerima putusan tersebut.
Penahanan Labora disorot lantaran pria yang berpangkat terakhir Aiptu itu sering ke luar tahanan dengan alasan berobat. Beberapa waktu lalu, ia menggunakan alasan itu untuk menghadiri pernikahan keluarganya.
Saat tim Kementerian Hukum dan HAM bersama ratusan polisi ingin mengeksekusi Labora pada Jumat 4 Maret, ia kabur dari rumahnya di Tampa Garam, Kecamatan Rufei, Sorong, Papua Barat. Senin dini hari 7 Maret, Labora menyerahkan diri ke Mapolres Sorong.
Terkait kaburnya Labora saat akan dieksekusi ke LP Cipinang, menurut Nasir, jangan hanya menyalahkan Kementerian Hukum dan HAM. Dia menilai, seharusnya Kepolisian dan Kejaksaan Agung yang mengeksekusi putusan Mahkamah Agung.
Pertanyannya, kenapa Kepolisian dan Kejaksaan Agung lama atau ragu-ragu mengeksekusi putusan itu? "Tentu saja ada sesuatu, misalnya terdengar informasi bahwa status Labora masih sebagai polisi," ujar Nasir.
Kalau Labora benar masih berstatus polisi, Nasir sangat menyayangkan dan menilai ada diskriminasi. Sebab, ada juga polisi yang melakukan kesalahan langsung diberhentikan secara tidak hormat. Menurut Nasir, Komisi III DPR tentu akan mengonfirmasi informasi itu ke Kapolri Jenderal Badrodin Haiti.
Labora Sitorus, polisi yang bertugas di Polres Raja Ampat, Papua Barat, memiliki uang Rp1,5 triliun di rekeningnya. Kepemilikan uang itu dinilai tidak wajar karena gaji pokok polisi berpangkat Aiptu hanya Rp2 juta-Rp3 juta per bulan.
Kasus rekening gendut Labora terungkap pada 2013. Labora memiliki uang sebanyak itu diduga hasil bisnis ilegal logging lewat PT Rotua dan bahan bakar minyak ilegal melalui PT Seno Adi Wijaya.
Senin 17 Februari 2014, majelis hakim Pengadilan Negeri Sorong melanggar Undang-Undang (UU) Migas dan UU Kehutanan. Ia divonis dua tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider enam bulan kurungan. Hakim meloloskan Labora dari dakwaan kasus pencucian uang.
Labora dan jaksa penuntut umum banding putusan hakim Pengadilan Negeri Sorong. Di Pengadilan Tinggi Papua, hakim menambah hukuman bagi Labora menjadi delapan tahun penjara, 2 Mei 2014. Pengadilan Tinggi juga menyatakan Labora melakukan pencucian uang.
Labora dan jaksa penuntut umum mengajukan kasasi ke MA. Hasilnya, majelis hakim kasasi Surya Jaya, Sri Murwahyuni, dan Artidjo Alkostar, menolak kasasi Labora dan mengabulkan kasasi jaksa penuntut umum. Labora dijatuhi hukuman 15 tahun penjara sesuai tuntutan jaksa, 17 September 2014.
Namun sejak putusan kasasi keluar, Labora tidak ditahan. Ia selalu beralasan sakit dan butuh perawatan medis di luar lembaga pemasyarakatan. Izin berobat ia salah gunakan agar dapat kembali ke rumahnya.
medcom.id, Jakarta: Anggota Komisi III DPR Muhammad Nasir Djamil mendengar informasi bahwa Labora Sitorus masih berstatus anggota Polri. Hal itu diduga membuat Kepolisian ragu mengeksekusi Labora.
Nasir Djamil mengapresiasi langkah Kementerian Hukum dan HAM memindahkan Labora dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sorong, Papua Barat, ke LP Cipinang, Jakarta Timur. Sebelum diputuskan dipindahkan ke LP Cipinang, ada usulan mengurung Labora di LP Gunung Sindur, Bogor.
Nasir tidak mempermasalahkan di mana Labora ditahan. Menurut anggota Fraksi PKS itu, yang paling penting adalah pengawasan.
"Bisa saja karena di Sorong jauh dari pusat kekuasaan dan pengawasan, dia bisa semena-mena, dia bisa melakukan apa saja. Apalagi dia masih punya uang," kata Nasir dalam program
Primetime News Metrot TV, Senin (7/3//2016).
Labora adalah terpidana kasus pencucian uang dan pembalakan liar di Sorong. Mahkamah Agung memvonis Labora 15 tahun penjara. Namun, Labora tidak menerima putusan tersebut.
Penahanan Labora disorot lantaran pria yang berpangkat terakhir Aiptu itu sering ke luar tahanan dengan alasan berobat. Beberapa waktu lalu, ia menggunakan alasan itu untuk menghadiri pernikahan keluarganya.
Saat tim Kementerian Hukum dan HAM bersama ratusan polisi ingin mengeksekusi Labora pada Jumat 4 Maret, ia kabur dari rumahnya di Tampa Garam, Kecamatan Rufei, Sorong, Papua Barat. Senin dini hari 7 Maret, Labora menyerahkan diri ke Mapolres Sorong.
Terkait kaburnya Labora saat akan dieksekusi ke LP Cipinang, menurut Nasir, jangan hanya menyalahkan Kementerian Hukum dan HAM. Dia menilai, seharusnya Kepolisian dan Kejaksaan Agung yang mengeksekusi putusan Mahkamah Agung.
Pertanyannya, kenapa Kepolisian dan Kejaksaan Agung lama atau ragu-ragu mengeksekusi putusan itu? "Tentu saja ada sesuatu, misalnya terdengar informasi bahwa status Labora masih sebagai polisi," ujar Nasir.
Kalau Labora benar masih berstatus polisi, Nasir sangat menyayangkan dan menilai ada diskriminasi. Sebab, ada juga polisi yang melakukan kesalahan langsung diberhentikan secara tidak hormat. Menurut Nasir, Komisi III DPR tentu akan mengonfirmasi informasi itu ke Kapolri Jenderal Badrodin Haiti.
Labora Sitorus, polisi yang bertugas di Polres Raja Ampat, Papua Barat, memiliki uang Rp1,5 triliun di rekeningnya. Kepemilikan uang itu dinilai tidak wajar karena gaji pokok polisi berpangkat Aiptu hanya Rp2 juta-Rp3 juta per bulan.
Kasus rekening gendut Labora terungkap pada 2013. Labora memiliki uang sebanyak itu diduga hasil bisnis ilegal logging lewat PT Rotua dan bahan bakar minyak ilegal melalui PT Seno Adi Wijaya.
Senin 17 Februari 2014, majelis hakim Pengadilan Negeri Sorong melanggar Undang-Undang (UU) Migas dan UU Kehutanan. Ia divonis dua tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider enam bulan kurungan. Hakim meloloskan Labora dari dakwaan kasus pencucian uang.
Labora dan jaksa penuntut umum banding putusan hakim Pengadilan Negeri Sorong. Di Pengadilan Tinggi Papua, hakim menambah hukuman bagi Labora menjadi delapan tahun penjara, 2 Mei 2014. Pengadilan Tinggi juga menyatakan Labora melakukan pencucian uang.
Labora dan jaksa penuntut umum mengajukan kasasi ke MA. Hasilnya, majelis hakim kasasi Surya Jaya, Sri Murwahyuni, dan Artidjo Alkostar, menolak kasasi Labora dan mengabulkan kasasi jaksa penuntut umum. Labora dijatuhi hukuman 15 tahun penjara sesuai tuntutan jaksa, 17 September 2014.
Namun sejak putusan kasasi keluar, Labora tidak ditahan. Ia selalu beralasan sakit dan butuh perawatan medis di luar lembaga pemasyarakatan. Izin berobat ia salah gunakan agar dapat kembali ke rumahnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TRK)