Ilustrasi (Foto: MI/Sumaryanto)
Ilustrasi (Foto: MI/Sumaryanto)

Dokter Jangan Dipaksa untuk Lakukan Aborsi Korban Perkosaan

Renatha Swasty • 11 Oktober 2014 21:40
medcom.id, Jakarta: Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang belum lama disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, rupanya bertentangan dengan disiplin profesi kedokteran. Peraturan tersebut mengatur legalitas aborsi dari indikasi perkosaan. Lalu, bagaimana seharusnya dokter bersikap?
 
Dijelaskan dosen hukum kesehatan M Naseer, dalam KEP KKI no 17/VIII/2006 tentang pedoman penegakan disiplin profesi kedokteran disebutkan, melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak sesuai dengan ketentuan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan etika profesi adalah pelanggaran disiplin profesi kedokteran.
 
Artinya, penghentian (terminasi) kehamilan hanya dapat dilakukan atas indikasi medik yang mengharuskan tindakan itu. Dan tindakan penghentian pada pasien tertentu yang mengorbankan janinnya harus dilakukan setidaknya oleh dua orang dokter.

Hal ini bertentangan dengan PP Nomor 61 Tahun 2014 yang dikeluarkan. Di mana tindakan aborsi hanya bisa dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medik dan indikasi perkosaan. Di situ disebut seorang dokter dapat melakukan aborsi pada pasien pemerkosaan bila bisa dibuktikan tidak ada tindakan suka sama suka, serta ada rekomendasi dokter, penyidik, psikolog dan ahli lain.
 
"Kalau dibuktikan suka sama suka nanti dengan mudahnya memerintahkan mereka supaya buat standar atas suka sama suka, justru akan sangat sulit buat si korban. Saya malah curiga dibuat PP untuk melindungi kejahatan," kata Naseer dalam diskusi 'Legalisasi Aborsi?' di kantor DPP NasDem, Jakarta Pusat, Sabtu (11/10/2014).
 
"Belum lagi penyidik itu kalau buat berita acara penyelidikan banyak rekayasanya," tambah dia
 
Ia melanjutkan, apabila pada akhirnya setelah semua syarat telah disetujui dan korban pemerkosaan dilakukan aborsi, bisa saja si dokter yang melakukan aborsi diadukan karena dianggap pelanggaran kode etik dan bisa dikenakan pasal pelanggaran disiplin di atas.
 
"Seharusnya kemuliaan profesi tidak bisa diintervensi birokrat," tandas dia.
 
Karena itu, Naseer menegaskan, dokter tidak bisa diberi kewajiban untuk melaksanakan aborsi yang dianggap pelanggaran kode etik dan bisa dianggap melakukan pelanggaran disiplin.
 
Senada dengan Naseer, pengamat hukum etika/filsafat Atma Jaya Yeremias Jena menilai seorang dokter harus memiliki pilihan sendiri sebelum melakukan aborsi pada pasien indikasi perkosaan. Dan hal itu tidak bisa dipaksakan.
 
"Jika dokter atas nama suara hati dan keyakinan agamanya, menolak untuk memberikan terminasi janin. Dalam kasus pemerkosaan, dokter sebetulnya dapat menolak sejak awal untuk terlibat dalam upaya aborsi yang perdebatan etisnya masih belum jelas dan distingtif hasilnya," tandasnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LOV)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan